Assalamu'alaykum wr wb

ni die blog aku Punya...
Semoga Isi di dalamnya bermanfaat untuk teman-teman, kakak-kakak, adik-adik, embah-embah, semuanya aja....
kalau aja ada statement yg gak banget tuk dibaca, saya selaku pemilik sekaligus penulis sekaligus pengelola blog ini minta maaPh yang segeDhe gedHenya....OK!!!
Keep Smile anD Keep fIgHT...
ALWAys do the besT, ALthougH we areN't The besT...

Minggu, Oktober 24, 2010

cerita pendek "ketika sedekah dipertanyakan"

KETIKA SEDEKAH DIPERTANYAKAN

Terkadang aku merasa ikhlas, terkadang aku merasa aku nggak butuh tetapi kenapa aku sering mengeluh…
Lantukan kata-kata itu cukup mewakilkan bagaimana perasaanku. Perasaan dengan keilkhlasan yang masih menggantung. Keikhlasan yang perlu dipertanyakan. Terkadang ikhlas, tetapi kenapa sering mengeluh, sering mengungkit, sering tidak rela dan banyak lagi tentang apa yang kurasakan.
Hemmm…. Kulepaskan semua beban di hati. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Semua itu kurasakan beberapa minggu yang lalu. Entah, sekarang apakah aku masih merasakan kegamangan akan keikhlasan. Aku sudah melupakan itu, sekarang kan kubuka lembaran baru di hidupku. Masa lalu kan kubingkai menjadi cerminan hidupku. Melihat mana yang hitam dan mana yang putih, karena itu adalah warna-warna kehidupan yang butuh perubahan.
Allahuakbar AllahuakbarLaailaa haillallah wallahuakbar Allahuakbar walillaa ilham
Merdunya lantunan takbir membawaku ke alam yang penuh dengan kemenangan. Balutan jilbab putih dan gamis hijau bergaris-garis putih mengantarkanku pada sebuah gerbang kesucian. Kulupakan semua goresan hitam di hatiku. Kulupakan bercak-bercak hitam yang sempat tertoreh di jiwaku. Kutumpahkan tetesan air mata taubat di atas sajadah yang membentang luas, seluas pintu maafku yang terdalam untuk saudara-saudara dan orang-orang terkasih.
Idul fitri benar-benar moment yang mengantarkanku untuk menggapai ridha-Nya. Meminta rahmad dan hidayah-Nya. Serta mengimpikan indah surga-Nya. Tak pernah kuimpikan sebelumnya, aku menjadi seperti ini. Kudekatkan wajahku di cermin. Kupandangi kembaranku di dalamnya. Kulihat dia tersenyum ke arahku. Memakai balutan jilbab, yang dihiasi dengan pancaran senyum, ditempeli dengan bunga-bunga takbir serta ditambah dengan accesoris tahmid.
Tak kuasa aku menahan air mata yang sedari tadi mengintipku di balik jernihnya mataku. Kutumpahkan air mata kesedihan, ketika aku teringat beberapa minggu yang lalu.
“Mbak sedekahnya…”, rintihan suara pengemis yang sering mondar mandir di depan rumahku. Ah…betapa jengkelnya diriku. Adikku tergopoh-gopoh lari ke dalam kamar.
Dubrakkk…
“Apaan sih Min” Bentakku.
Amin adikku menabrak kursi yang tepat di samping komputer.
Dengan tergesa-gesa dia membuka dompetku, criiing, beberapa koin yang bernilai seratus dan dua ratus rupiah jatuh ke lantai.
“Tak henti-hentinya pengemis itu datang ke sini, mau cari apa sih”, kataku kesal.
“Cari uang kak, kan dia pengemis” jawabnya polos. Sedetik kemudian Amin berlari meninggalkanku sambil membawa beberapa koin dari dompetku.
“ah…lama-lama uangku habis ni, gara-gara pengemis itu. Mana sih keluarganya, nggak peduli banget”, gumamku.
“Mbak, tadi pengemisnya bilang, makasih mas semoga lancar sekolahnya hehehehe, pengemisnya baik ya mbak, doain aku terus”, kata Amin yang mendekat ke arahku.
“Iya…kalau ada maunya pasti kaya gitu Min”, Jawabku masih dengan nada kesal.
“Ikhlas nggak mbak”, kata Amin sambil meninggalkanku yang memelototi buku karangan Habiburahman El Shirazi.

***
“Puasa-puasa enaknya ngapain ya, ehm…ngrumpi dosa, makan batal, tidur, sudah banyak tidur, kuliah, masih ntar siang…ah jadi bingung”, gumamku pelan.
“Amiiiin…”, Panggilku.
“Aku mau sekolah mbak”, Jawabnya.
Yah…Amin sekolah. Bapak ibu kerja. Nggak ada teman di rumah.
“berangkat…assalamualaikum”, teriak Amin.
“Wa’alaikumsalam” jawabku.
Beberapa detik kemudian terdengar langkah yang semakin lama semakin cepat. Kupastikan itu langkah Amin. Kenapa tu anak, lari-lari kembali ke rumah.
“mbak…huhh huhh….” Nafasnya tak beraturan. Kenapa ini anak.
“mbak…” katanya lagi masih dengan nafas yang kembang kempis.
“Apa…” jawabku dengan nada yang meninggi.
“Uang….” Katanya sambil berusaha membuka dompetku.
Segera kurebut dompet yang ada digenggamannya. Dan kuambilkan uang seribu rupiah untuknya.
“Ni…bukannya tadi sudah dapat uang dari ibu”,
“Bukan untuk itu”
“Pengemis lagi? Nanti pengemisnya keseringan datang ke rumah Min, sudahlah biarin saja, kemarin sudah kukasih bukan” kataku sambil mencari pengemis dari jendela kamarku.
“Buat di jalan mbak, kasihan, kata guru ngaji Amin, buat ladang amal di surga, uang Mbak Febri nggak akan habis deh gara-gara sedekah”, nasehatnya.
Aku hanya terdiam melanjutkan membaca barisan-barisan huruf yang tertata rapi ini.
“Mbak, dengerin Amin”, Rengeknya.
“Iyaaaa Amin, Mbak ngerti, ta-pi, nan-ti, pengemis-nya ja-di ke-se-ri-ngan, enakan di dia dong, biar dia kerja Min”, jawabku dengan nada lambat. Wajahku sudah menunjukkan wajah kesal. Tapi, Amin tetap saja merengek.
Segera saja kuambilkan, beberapa koin uang seratusan.
“Ini, dikasihkan yang bener”
“Makasih mbak, Mbak Febri cantiiik deh, semoga uangnya bertambah”, katanya sedikit merayu. Kemudian dia berlari keluar kamar dan kembali melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
***
“Feb, tau nggak sih, di rumahku banyak pengemis datang. Pinter banget ya memanfaatkan moment puasa”, kata Vira kepadaku.
“Iya..bener-bener menjengkelkan, uangku lama-lama menipis Vir, mana Amin tiap hari ngambilin uang di dompetku, hemmm dasar tu anak” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“Wah adikmu baik banget Feb, perlu dicontoh tu”
“Mana dia suka ngrayu dengan bawa kata-kata dari guru ngajinya lagi, apa nggak luluh aku”
“hahahahahaha, ikhlas nggak Feb?”
“idiih malah ketawa, kadang nggak, kadang ikhlas Vir”, Jawabku tanpa rasa berdosa.
***
“Mbaaak, sedekahnya…”
Kulihat ibu pengemis itu di depan rumah. Duh, dompetku semakin menipis. Kulihat tinggal uang lima ribuan tiga, untuk naik angkot besok. Gimana ini….
“Mana, lagi Amin, uang tadi pagi sisa nggak ya” Kataku dalam hati.
Terkadang terbesit rasa kasihan di dalam hatiku. Tetapi terkadang aku nggak rela uangku dimakan sama orang yang tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan nasibnya pada telapak tangannya saja. Seharusnya aku memberikan peluang pengemis itu untuk bekerja, jadi nggak usah keluar saja ah.
Lima menit kemudian, suara pengemis itupun hilang. Seakan ditelan angin begitu saja. Kulihat Amin baru keluar dari kamarnya. Baru bangun tidur rupanya.
“Min, tadi pengemis langgananmu datang”, kataku datar.
“Mbak kasih apa?”
“Mbak nggak punya apa-apa Min, mbak biarkan saja” jawabku sambil menyalakan TV.
“Mbak Febri kok jahat, nanti uang mbak malah cepet hilang lo” Katanya sambil masuk lagi ke kamar.
“Ah…dibilangin seperti apa juga Amin belum ngerti”, kataku dalam hati.
Tiba-tiba pengemis kedua datang. Kali ini bapak bapak dengan baju robek di punggungnya.
“Min, langgananmu lagi tu” Teriakku.
Amin membawa sebungkus roti dan dibawanya keluar. Kudengarkan suaranya dari dalam. Bilang apa ya, sama pengemis itu.
“Pak, Amin nggak punya uang, ini roti Amin buat bapak saja”, Katanya.
Beberapa menit kemudian Amin masuk dan berjalan ke arahku. Sebenarnya aku bangga dengan adikku. Tetapi, kasihan dia, roti dari ibu untuk buka puasa nanti harus dia relakan untuk pengemis. Sedangkan aku, uang tertata rapi di dompet, hanya karena tidak punya uang dengan nominal yang lebih kecil saja, kuabaikan pengemis yang datang.
“ah…biarlah”, kataku dalam hati.
***
Hik…hik….hik
Suara tangisku ternyata mampu memekakkan telinga Amin.
“Mbak, sudah gede nangis” Bentaknya. Sepertinya dia meniru lagakku. Anak kecil memang peniru yang baik.
“Kenapa?”, tanya ibu.
“Uang Febri untuk bayar sekolah tadi pagi ilang bu”, kataku sambil mengusap air mata.
“hahaha, itu akibatnya mbak nggak pernah sedekah” kata Amin.
“Heh diam kamu, anak kecil nggak tahu apa-apa”, Bentakku.
“Malah marah lagi, betul kata Amin” ibuku ikut membentakku.
Dengan wajah manyun aku masuk ke kamar. Kutelan kata-kata Amin dan ibu tadi.
“Apa benar ya, uangku hilang gara-gara tidak pernah sedekah. Bukannya aku kemaren yang ngasih uang buat Amin untuk pengemis itu”, gumamku dalam hati.

***
Allahuakbar Allahuakbar….
Adzan sholat isya berkumandang. Saatnya aku, ibu, bapak dan Amin ke masjid, yang berjarak 300 meter dari rumahku. Tidak seperti biasanya, hari ini aku memakai jilbab. Biasanya jilbab hanya kukenakan kalau aku sekolah saja. Kulihat wajah ibuku yang berseri dan kelihatan cantik dengan balutan jilbab hitamnya.
“Apakah aku juga seperti itu ya, kalau memakai jilbab setiap hari”, kataku dalam hati. Tanpa sadar ternyata aku tersenyum sendiri. Dan Amin melihatku sedari tadi.
“Kenapa mbak, stress gara-gara uangnya hilang ya mbak?” tanyanya.
Aku kaget dibuatnya. Tanpa sadar ternyata si kecil Amin melihat tingkahku tadi. Aku jadi salah tingkah.
“Ah nggak” Jawabku singkat sambil berjalan di belakang bapak.
Masjid ini selalu ramai, tidak hanya di Bulan Ramadhan, di bulan lain pun tetap makmur dan jaya. Kenapa ini ibu-ibu, ramainya mereka di masjid hari ini berbeda dari biasanya. Kulihat Vira ikut nimbrung bersama ibu-ibu yang ngrumpi itu.
“Ada-ada saja ni ibu-ibu, nggak di masjid nggak di rumah nggak di warung, ngrumpi melulu”, kataku cuek.
Vira langsung menempatkan diri di sampingku.
“Ngrumpi mulu”, kataku pelan ke arahnya.
“Eh hot news”, katanya
“Mau denger nggak?” tawar Vira.
“Nanti kali, ini dimana coba, masjid Vir” kataku. Dia hanya mengangguk dengan wajah kesal.
Kultum malam ini sesuai dengan tema hidupku hari ini. Sedekah. Apakah pidato bapak khatib kali ini menjawab pertanyaanku. Dengan sedikit mengantuk aku dengarkan kata demi kata yang terlontar dari khatib itu. Sungguh luar biasa makna sedekah dan manfaat sedekah. Seketika itu terlintas di dalam benakku. Bukannya kalau kita memberikan uang kepada pengemis, itu berarti kita tidak memberikan kesempatan kepada pengemis itu untuk bekerja. Apakah kita harus melatih pengemis untuk terus membawa tangannya untuk selalu di bawah. Memang sih sedekah tidak harus untuk pengemis. Untuk yang lainnya juga. Tetapi, kupikir-pikir selama hidupku mana pernah aku bersedekah. Malahan aku berfikir, untuk jajan saja kurang apalagi sedekah.
Terbesit lagi di benakku. Apakah hilangnya uang bayaranku juga karena aku jarang sedekah ‘mungkin’, kataku dalam hati. Seperti disiram air pegunungan yang menyegarkan. Pikiranku mulai melayang. Jiwaku mulai terguncang dan hatiku bergetar kencang.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu”, kataku dalam hati sambil menitikkan air mata yang tak tau apa sebabnya dia mendorong mataku untuk keluar.
Di dalam bayanganku terlintas pengemis tua itu. Bapak pengemis yang memang jarang ke rumah. Tetapi aku ingat, Amin memberikan roti untuknya. Dengan pakaian sobek di bagian punggungnya, pengemis itu meninggalkan rumahku dengan wajah ceria. Berbeda dengan Ibu bercaping dan berpakaian kuning lusuh yang sering datang ke rumah. Dengan wajah muram dan sedih dia meninggalkan rumahku. Dia kuabaikan beberapa jam yang lalu.
Mereka adalah ladang amal bagi kita. Tidak peduli apa niatan mereka dan apa motivasi mereka untuk mengemis, yang penting niatan kita ikhlas lillahi ta’ala.
“Ya Allah berapa saja dosa hamba selama hidup ini, Ya Allah aku telah membuat pengemis itu sedih, aku telah mengabaikannya, Astagfirullah hal’adhim, Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini”, Di dalam keheningan hatiku, aku memohon ampun kepada Sang Maha Pengampun. Kini hatiku tergerak untuk mencari sesosok pengemis tua berpakaian kuning lusuh itu. Akan kutebus semua kesalahan-kesalahanku pada pengemis itu.
***
“Feb, mau tahu nggak hot newsnya ?”, tanya Vira kepadaku.
“Apaan sih?”, jawabku datar.
“Pengemis yang sering main ke tempatmu tadi keserempet mobil”.
Tiba-tiba hatiku bergetar. Benarkah berita yang baru saja dikatakan Vira. Atau hanya gossip belaka.
“Maksudnya, ibu yang biasanya pakai pakaian kuning itu? meninggal?”, tanyaku serius.
Vira mengangguk pelan, sambil membuka pesan di handphone-nya.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu ini, sampaikan salam maafku yang teramat dalam untuk ibu pengemis itu. Ya Allah ampuni saya”, kataku dalam hati. Air mataku menetes perlahan. Aku tak kuasa menahan tangis. Rasa penyesalahanku semakin tinggi. Ya Allah sekali lagi ampuni hamba yang teramat banyak dosa ini.
Sesampai di rumah kuceritakan berita kematian pengemis itu ke keluargaku. Terutama kepada Amin, yang tak pernah lupa memberikan satu atau dua koin untuknya. Amin hanya mengangguk dan ternyata dia sudah mengetahui berita itu.
***
Kurasa hari ini sepi, tanpa ada yang memanggil ‘mbak sedekahnya’. Terkadang aku menengok keluar rumah, mana ibu pengemis itu. Ah ibunya sudah nggak mungkin lagi lewat depan rumah. Dan aku takkan melihat Amin lari-larian mengambil uang di dompetku.
Beberapa jam kemudian, aku kembali melihat Amin lari ke dalam kamarku.
“Amin kenapa?”, tanyaku heran.
“Mbak ada pengemis lagi, bapak-bapak yang kukasih roti kemarin”, katanya sambil mencari dompetku. Kuhampiri Amin. Dan tersenyum ke arah bocah kecil itu. Betapa baiknya dia. Berbeda sekali denganku.
“Mbak mana dompetnya”, bentaknya ke arahku. Aku tak peduli akan nadanya yang meninggi. Rasa sayangku kepada Amin semakin tebal. Segera kuambil dompet dan kuambilkan uang lima ribuan.
“Haa...serius mbak?”, tanyanya kaget ketika kuberikan selembar lima ribuan ke arahnya. Aku tersenyum malu. Aku hanya mengangguk pelan. Dengan pancaran senyum yang lebar, dia berlari ke arah bapak pengemis yang telah menunggu di depan rumahku.
Ya Allah seberapapun yang telah kuberikan semoga keikhlasan melekat di hatiku dan ridho-Mu selalu menaungi setiap langkahku. Ternyata berbagi itu sangat indah. Menyejukkan dan menenangkan hati. Apalagi bulan ini bulan Ramadhan, bulan suci penuh ampunan. Dan tak terasa bulan syawal juga tinggal menunggu hari. Semoga keindahan berbagi dan bersedekah akan selalu melekat di hatiku selamanya, walaupun di luar bulan syawal sekalipun. Amiin.
***
“Mbak ayo sholat ke lapangan, sudah ditunggu ibu tu”, Ajakan Amin membuyarkan lamunanku. Ternyata aku melamun. Melamunkan akan pengalamanku yang penuh dengan keberkahan. Ya Allah tetapkan aku pada keikhlasan dan keistiqomahan. Sekarang aku tahu Ternyata, tidak semua rezeki yang kuterima itu menjadi hakku. Itu juga hak saudara-saudaraku sesama muslim.
Segera kuikuti Amin dari belakang. Bapak dan ibu telah menungguku rupanya.
(Irma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar