Assalamu'alaykum wr wb

ni die blog aku Punya...
Semoga Isi di dalamnya bermanfaat untuk teman-teman, kakak-kakak, adik-adik, embah-embah, semuanya aja....
kalau aja ada statement yg gak banget tuk dibaca, saya selaku pemilik sekaligus penulis sekaligus pengelola blog ini minta maaPh yang segeDhe gedHenya....OK!!!
Keep Smile anD Keep fIgHT...
ALWAys do the besT, ALthougH we areN't The besT...

Jumat, Januari 15, 2010

RANGKAIAN DOA UNTUK BUNDA

Air mataku menetes mengiringi alunan takbir yang kian merdu. Ku tak kuasa menahan dorongan air mata yang kian kuat. Ku biarkan air ini keluar dan membuat mataku sayu dan mengukir bengkakan di sekelilingnya.
Allahu akbar…
Allahu akbar…
Laailahaillah wallahu akbar…
Allahu akbar walillaa ilham…
Senandung yang kian lama kian kuat menerkam hatiku. Kurebahkan tubuhku di atas sajadah yang sedari tadi menemaniku di dalam tahajud. Tak pernah kusangka, tak pernah kubayangkan, ramadhan yang ditunggu-tunggu setiap muslim telah pergi begitu saja. Dan tibalah hari fitri yang selalu ditunggu-tunggu apalagi untuk Beta adikku, yang terkadang salah menilai apa arti idul fitri baginya. Tak lama kemudian, kuterlarut dalam mimpi di atas sajadah hijau tuaku.

“Mbak…mbak…mbak Meta…” Suara khas adikku tlah membuyarkanku dari mimpi di bawah alam sadar. Kulihat jam dinding di kamarku tlah menunjukkan pukul 04.30.
Kudapati Beta adikku yang tak sabar ingin segera mengenakan baju baru di hari fitri ini. Hari fitri pertamaku. Ya…pertama kali aku merayakan Idul fitri tanpa kedua orangtuaku. Di sini, hanya aku dan si kecil Beta yang setia menemaniku menempati bangunan yang umurnya melebihi umurku yang sebentar lagi akan menginjak kepala dua.
“Ayo mbak kita Sholat subuh”, Rengek Beta.
“Beta, kamu sudah mandi?”, Tanyaku heran. Tak biasanya Beta mandi sepagi ini. Benar-benar rekor dia hari ini. Hari fitrilah yang membuatnya jadi begini. Dia begitu senang, apalagi dengan balutan busana muslim coklatnya itu. Busana muslim peninggalan ibuku tercinta. Beliau dengan susah payah menjahitkannya untuk Beta satu bulan yang lalu sebelum beliau pergi meninggalkan kami tuk slama-lamanya. Begitu pahit kurasakan hidupku ini. Sejak kecil kami telah kehilangan bapak tercinta. Kata ibuku beliau pergi dari rumah karena kondisi ekonomi dan sekarang tak tahu dimana bapak, mungkin benar-benar lupa dengan keluarga yang selalu menanti-nanti kepulangannya. Oh…Ibu, kanker payudaralah yang telah merenggut nyawa ibu. Tetapi, aku senang melihat Beta yang sering tersenyum menghiburku, seakan-akan dia tak peduli tentang apa yang telah menimpanya. Dia memang masih kecil tuk mengerti ini semua. “Ayolah mbak jangan melamun”. Rengeknya lagi.
Takkan kusia-siakan waktu subuh ini, karena aku tak yakin subuh esok hari aku masih bisa menikmatinya.

Aku tak mengharapkan baju baru di setiap Idul fitri tiba, kalau toh baru, Alhamdulillah. Aku bergegas mengajak adikku bersiap-siap menunaikan sholat ied ke lapangan. Kumandang takbir yang menyeru kebesaran Illahi terus mengalun indahnya, seolah-olah mengiringi kepergian ibuku sebulan lalu. Aku tak pernah menyangka, Idul fitri kemarin, terakhir untuk ibuku. Ibu yang telah membawaku seperti sekarang ini. Mengajariku akan arti dan lika-liku kehidupan serta cobaan dan ujian yang tak letih menjemput dan merayu keluargaku. Bagiku, cobaan bukanlah hal yang harus ditaklukkan, tapi untukdihadapi. Beribu-ribu cobaan yang menerpa pun akan sulit untuk kita hilangkan, karena izin-Nya lah dia ada. Aku yang harus menghadapinya, biar sepahit apapun itu, karena itulah jalan terbaikku untuk menuju kemulyaan hidup.

Seusai Sholat takkan pernah kulupa, doa untuk ibu bapakku. Doa penuh makna, penuh pengharapan yang sangat, serta doa yang penuh dengan isakan tangis tuk meminta belas kasihan-Nya.
“Mbak Meta kok nangis?”, Suara polos Beta membuatku kaget dan segera mengusap air mata yang trus menetesi pipiku.
“Ehm…nggak, siapa yang nangis, mbak sedang terharu…”, Kataku terputus oleh isakan tangis yang tak bisa kutahan.
“Terharu kenapa?”.
“Terharu…karena kita masih diberikan kesempatan oleh Allah tuk menikmati indahnya idul fitri ini”, Jelasku.
Dia hanya sambil mengangguk-angguk. Aku tersenyum dibuatnya. Anak sekecil dia harus setia menemaniku mengarungi manis pahitnya hidup tanpa orangtua. Tak lupa kukatakan padanya tuk selalu mendoakan ibu dan bapak.
“Siiip, so pasti kak doaku hanya untuk ibu dan bapak he…he...”, Jawabnya yang lagi-lagi membuatku semakin kuat menjalani hidup ini. Sesungguhnya Betalah motivator terbesar dalam hidupku.

“Ayo ke rumah nenek Beta!” Ajakku. Di sini aku masih punya saudara. Masih banyak mereka-mereka yang sayang kepada kami. Ada paman, bibi serta yang lainnya. Yang tak kalah penting adalah nenekku yang sudah lima tahun ditinggal kakek. Beliau tak bosan-bosannya mendengar celotehan dan tangisan Beta, apalagi di saat Beta tak ada teman, karena aku harus bergelut dengan mata kuliah yang begitu menyita kebersamaanku dengannya. Tapi, itulah kewajibanku di luar kewajiban menjadi seorang kepala ‘rumah tangga’ yang harus mendidik adik satu-satunya. Pesan ibu aku tak boleh menyi-nyiakan pendidikan, dengannya aku bisa mendidik adikku dan tentunya niatan ibadah karena-Nya.
Beta hari ini memang Nampak letih sekali. Aku takut terjadi apa-apa dengannya, sakit misalnya. Aku trauma dengan sakitnya beberapa bulan silam. Tiba-tiba dia jatuh pingsan, badannya panas. Untung saja dokter cepat bertindak. Katanya sih masuk angin ‘kasep’. Mungkin karena dia sering hujan-hujanan dengan teman-temannya. Dasar anak kecil. Tapi, saat ini lain, dia kelihatan tak bersemangat.
“Ada apa denganmu my baby?”, Tanyaku dengan panggilan sayangku kepada adikku tercinta.
Tiba-tiba dia menangis. Aku tak tau apa yang harus aku perbuat. Kenapa dia.
“Ibu…”, Katanya lirih.
Aku kaget dibuatnya. Kenapa dia tiba-tiba teringat ibu. Mungkin itu hal yang wajar. Baru sebulan dia ditinggal ibu. Apalagi dia tak pernah membayangkan, akan ditinggal ibu begitu cepatnya. Aku tau pasti dia merasa sangat kesepian. Aku bingung harus bagaimana, tiba-tiba ideku seakan-akan hilang ditelan waktu. Tetesan air mata tak bisa kutepis dengan apapun. Kubiarkan ia meleleh membasahiku. Kupeluk Beta erat-erat.
“Beta…yang sabar ya nak…kalau Beta nangis, nanti ibu juga akan sedih di surga”. Hiburku. Kata-kataku seolah hanya diterpa angin begitu saja. Beta tak memperdulikan apa yang aku katakan. Kubiarkan dia larut dalam tangis dipelukanku.
Tanpa kusadari, paman dan bibi masuk ke dalam rumah yang sengaja tak kututup pintunya. Mereka sengaja tak mengetok pintu, karena melihat kami nangis sesenggukan. Tanpa kuceritakan pun aku pasti mereka mengerti kenapa kami menangis.
Bibi mendekat dan memeluk kami, sambil menangis pula. Lalu sebuah kata-kata manis terucap dari bibir beliau.
“Anak-anakku jangan menangis…ibu kalian pasti tak rela melihat kalian menangis begitu, nanti kalau ibu sedih gimana?”.
Beta tetap saja menangis. Lalu kugendong dia. Semua jadi menangis dibuatnya.
“Beta… mau ngedoain ibu….”, Jawabnya sambil terus menangis. Aku kaget dengar jawaban Beta. Subhanallah Beta, kau benar-benar seperti orang, dewasa walapun usiamu masih menginjak 4 tahun.
Kemudian paman mendekati kami.
“Kalau Beta mau ngedoain ibu, Beta nggak boleh nangis ya…”
Dengan kata-kata paman, tangis Beta mereda sedikit demi sedikit.

Kami pun segera ke rumah nenek. Tak sabar rasanya ingin bertemu nenek, walaupun setiap hari pun kita selalu bertatap muka. Aku tak ingin melihat nenek kesepian di rumah sendiri, tanpa cucu-cucunya.
Setelah kami bersalam-salaman dengan nenek maupun paman, bibi dan yang lain, kami segera menyicipi masakan bibi, ehm…enak sekali opor ayam kesukaan Beta.
“Beta makan yang banyak ya…”, Hiburku. Aku yakin saat ini Beta memang masih merasa kehilangan, air matanya pun masih berlinang, seakan-akan malu tuk keluar.
Tiba-tiba saja paman menggendong Beta keluar, entah apa yang akan dikatakan paman tuk menghibur Beta. Kulihat di luar Beta bisa tertawa-tawa seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dia memang anak yang tegar.
Aku tak tahu apa yang dikatakan paman pada Beta di luar tadi, yang jelas sekarang ada perubahan yang luar biasa pada diri Beta. Setiap selesai sholat berjamaah denganku, tak segan-segan dia mengingatkanku tuk selalu mendoakan ibu. Aku juga mengingatkannya tuk mendoakan bapak. Aku tetap berharap suatu saat nanti bisa bertemu dengan beliau dalam keadaan apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar