Assalamu'alaykum wr wb

ni die blog aku Punya...
Semoga Isi di dalamnya bermanfaat untuk teman-teman, kakak-kakak, adik-adik, embah-embah, semuanya aja....
kalau aja ada statement yg gak banget tuk dibaca, saya selaku pemilik sekaligus penulis sekaligus pengelola blog ini minta maaPh yang segeDhe gedHenya....OK!!!
Keep Smile anD Keep fIgHT...
ALWAys do the besT, ALthougH we areN't The besT...

Selasa, November 22, 2011

PENGAMEN CILIK

Panasnya sengatan matahari tak meyurutkan semangat dua bocah cilik itu. Panas bukanlah musuh baginya, melainkan menjadi kawannya demi sesuap nasi. Berpakaian kotor dan kumal, menjadi ciri khasnya. Tentu mereka berbekal keberanian dan rasa PD di depan khalayak untuk mendapatkan sekantong uang receh. Ya, dialah si pengamen cilik yang berjuang sekuat tenaga demi menghidupi keluarga.
Entahlah, apakah dia mencari uang atas keinginannya sendiri, atau disuruh orangtua mereka, mungkin malah ada tangan-tangan tak bertanggungjawab dibalik mereka, yang dengan mudah memperalat anak-anak kecil untuk mendapatkan kepuasan semata.
Terkadang rasa kecewapun menyelimuti hari-hari bocah cilik itu. Tentu, karena banyaknya pemakai jalan yang hanya berlalu lalang tanpa menghiraukan mereka. Melirikpun seperti tak sanggup, apalagi harus susah-susah membuka tas yang telah tertutup rapat hanya untuk mengambil uang receh yang belum tentu mereka punya. Kadang ada malaikat penolong yang siap dengan secarik uang kertas atau sebutir uang logam. Betapa senangnya ketika uluran tangannya tak sia-sia. Walaupun apa yang mereka dapat tak sebanding dengan perjuangan mereka di tengah kepulan asap kendaraan, debu dan panasnya matahari.
”mbak...minta uangnya mbak...”
Suara lirihnya yang diikuti dengan uluran tangan, terdengar menyayat hati siapapun yang mendengar. Rasa iba terkadang terpancar di hatiku dan tentunya para pemakai jalan lainnya. Tetapi, apakah dengan memberinya uang dapat merubah nasib mereka. Tidak tentunya. Mereka hanya ingin uang. Tetapi, sebenarnya banyak sekali yang mereka butuhkan, dan bukan hanya uang semata. Kasih sayang orang tua, tempat tinggal, hidup layak, pendidikan dan masih banyak lagi yang mereka butuhkan dan belum satupun mereka dapat.
Saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, bocah-bocah itu mulai beraksi. Ada yang menuju ke pengendara-pengendara motor, ada yang menuju ke mobil-mobil, yang dianggapnya mau memberikan segelintir uang.
Banyak yang mengacuhkannya. Walaupun dengan muka memelas sekalipun. Si bocah cilik dengan sabar menunggu sang pemberi koin tuk mengambilnya dari balik kantong ajaib. Terkadang akupun merasa terganggu dengan kehadirannya. Apalagi di saat jalan ramai dan panas yang menyengat. Tetapi, terkadang aku merasa iba juga melihatnya berkeliaran, apalagi kalau tak seorangpun memberikan apa yang dia butuhkan.
”Paaak...minta uangnya...”. Lagi-lagi katanya memelas sambil mengulurkan tangan ke siapa saja yang dia temui. Ada-ada saja tingkahnya untuk mengambil hati orang-orang yang berhenti di depannya.
Di tempat lain pun, masih saja kutemui bocah cilik yang melakukan hal sama. Hanya saja, mereka membawa potongan kayu yang lengkap dengan tutup-tutup botol minuman bersoda. Dan menunjukkan kepiawaiannya dalam menyanyi. Tetapi sayang, suara bocah-bocah itu tak terdengar karena tertutup suara alat musik yang mereka buat sendiri.
Di satu sisi, bocah-bocah itu sebenarnya berbakat. Mereka kreatif membuat alat-alat musik untuk mengirnginya di tengah kepulan asap, serta yang seharusnya menjadi teladan bagiku adalah pantang menyerah dan semangat yang luar biasa. Tetapi, apa yang mereka rasakan sekarang. Sudah adilkah apa yang mereka peroleh? Tangan-tangan tak berdosa menjadi korban atas orangtua mereka. Mereka yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai seorang anak, tetapi malah harus bersusah payah mencari uang. Pendidikan tak mereka dapat. Tempat tinggal layak pun tak dapat mereka tinggali. Apalagi kemewahan. Itu hanya angan-angan belaka baginya. Hanya belas kasihanlah yang mereka inginkan serta uluran tangannya yang disambut manis dengan secarik kertas dan sebutir logam yang melekat di telapak tangan.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, si pengamen cilik tak pernah absen dari jalan yang sering kulewati. Rasa kebingungan terpancar dari mukanya saat harus melewati pengendara yang dengan sigap menutup helm rapat-rapat agar tak terganggu suara-suara dan rintihan kata-kata memelasnya.
Kapan ada lembaga sosial yang bersedia menampung mereka. Bekal keterampilanpun kurasa cukup baginya untuk mendapatkan sesuap nasi. Apalagi mereka memang memiliki bakat yang luar biasa. Menjadi penyanyi, pembuat alat musik tradisional dan masih banyak bakat yang belum tergali dari diri mereka. Semoga pemerintah atau siapapun yang berhati mulia dapat memberikan bekal untuk mereka nanti. Tak terkecuali diriku nantinya, semoga....

1 komentar:

  1. huuuuuuuuuuuuuuum.....bisa nulis lagiiiiiiiiiii tetep semangat buat nulis yaaah

    BalasHapus