Assalamu'alaykum wr wb

ni die blog aku Punya...
Semoga Isi di dalamnya bermanfaat untuk teman-teman, kakak-kakak, adik-adik, embah-embah, semuanya aja....
kalau aja ada statement yg gak banget tuk dibaca, saya selaku pemilik sekaligus penulis sekaligus pengelola blog ini minta maaPh yang segeDhe gedHenya....OK!!!
Keep Smile anD Keep fIgHT...
ALWAys do the besT, ALthougH we areN't The besT...

Selasa, November 22, 2011

write...

write...inspiring me to get anything i want
so...lets write in every moment

PENGAMEN CILIK

Panasnya sengatan matahari tak meyurutkan semangat dua bocah cilik itu. Panas bukanlah musuh baginya, melainkan menjadi kawannya demi sesuap nasi. Berpakaian kotor dan kumal, menjadi ciri khasnya. Tentu mereka berbekal keberanian dan rasa PD di depan khalayak untuk mendapatkan sekantong uang receh. Ya, dialah si pengamen cilik yang berjuang sekuat tenaga demi menghidupi keluarga.
Entahlah, apakah dia mencari uang atas keinginannya sendiri, atau disuruh orangtua mereka, mungkin malah ada tangan-tangan tak bertanggungjawab dibalik mereka, yang dengan mudah memperalat anak-anak kecil untuk mendapatkan kepuasan semata.
Terkadang rasa kecewapun menyelimuti hari-hari bocah cilik itu. Tentu, karena banyaknya pemakai jalan yang hanya berlalu lalang tanpa menghiraukan mereka. Melirikpun seperti tak sanggup, apalagi harus susah-susah membuka tas yang telah tertutup rapat hanya untuk mengambil uang receh yang belum tentu mereka punya. Kadang ada malaikat penolong yang siap dengan secarik uang kertas atau sebutir uang logam. Betapa senangnya ketika uluran tangannya tak sia-sia. Walaupun apa yang mereka dapat tak sebanding dengan perjuangan mereka di tengah kepulan asap kendaraan, debu dan panasnya matahari.
”mbak...minta uangnya mbak...”
Suara lirihnya yang diikuti dengan uluran tangan, terdengar menyayat hati siapapun yang mendengar. Rasa iba terkadang terpancar di hatiku dan tentunya para pemakai jalan lainnya. Tetapi, apakah dengan memberinya uang dapat merubah nasib mereka. Tidak tentunya. Mereka hanya ingin uang. Tetapi, sebenarnya banyak sekali yang mereka butuhkan, dan bukan hanya uang semata. Kasih sayang orang tua, tempat tinggal, hidup layak, pendidikan dan masih banyak lagi yang mereka butuhkan dan belum satupun mereka dapat.
Saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, bocah-bocah itu mulai beraksi. Ada yang menuju ke pengendara-pengendara motor, ada yang menuju ke mobil-mobil, yang dianggapnya mau memberikan segelintir uang.
Banyak yang mengacuhkannya. Walaupun dengan muka memelas sekalipun. Si bocah cilik dengan sabar menunggu sang pemberi koin tuk mengambilnya dari balik kantong ajaib. Terkadang akupun merasa terganggu dengan kehadirannya. Apalagi di saat jalan ramai dan panas yang menyengat. Tetapi, terkadang aku merasa iba juga melihatnya berkeliaran, apalagi kalau tak seorangpun memberikan apa yang dia butuhkan.
”Paaak...minta uangnya...”. Lagi-lagi katanya memelas sambil mengulurkan tangan ke siapa saja yang dia temui. Ada-ada saja tingkahnya untuk mengambil hati orang-orang yang berhenti di depannya.
Di tempat lain pun, masih saja kutemui bocah cilik yang melakukan hal sama. Hanya saja, mereka membawa potongan kayu yang lengkap dengan tutup-tutup botol minuman bersoda. Dan menunjukkan kepiawaiannya dalam menyanyi. Tetapi sayang, suara bocah-bocah itu tak terdengar karena tertutup suara alat musik yang mereka buat sendiri.
Di satu sisi, bocah-bocah itu sebenarnya berbakat. Mereka kreatif membuat alat-alat musik untuk mengirnginya di tengah kepulan asap, serta yang seharusnya menjadi teladan bagiku adalah pantang menyerah dan semangat yang luar biasa. Tetapi, apa yang mereka rasakan sekarang. Sudah adilkah apa yang mereka peroleh? Tangan-tangan tak berdosa menjadi korban atas orangtua mereka. Mereka yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai seorang anak, tetapi malah harus bersusah payah mencari uang. Pendidikan tak mereka dapat. Tempat tinggal layak pun tak dapat mereka tinggali. Apalagi kemewahan. Itu hanya angan-angan belaka baginya. Hanya belas kasihanlah yang mereka inginkan serta uluran tangannya yang disambut manis dengan secarik kertas dan sebutir logam yang melekat di telapak tangan.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, si pengamen cilik tak pernah absen dari jalan yang sering kulewati. Rasa kebingungan terpancar dari mukanya saat harus melewati pengendara yang dengan sigap menutup helm rapat-rapat agar tak terganggu suara-suara dan rintihan kata-kata memelasnya.
Kapan ada lembaga sosial yang bersedia menampung mereka. Bekal keterampilanpun kurasa cukup baginya untuk mendapatkan sesuap nasi. Apalagi mereka memang memiliki bakat yang luar biasa. Menjadi penyanyi, pembuat alat musik tradisional dan masih banyak bakat yang belum tergali dari diri mereka. Semoga pemerintah atau siapapun yang berhati mulia dapat memberikan bekal untuk mereka nanti. Tak terkecuali diriku nantinya, semoga....

Selasa, Maret 15, 2011

Minggu, Januari 02, 2011

KATA HATI SANG BUAH HATI

KATA HATI
SANG BUAH HATI

Tangisan ceria keluar dari mataku. Tangisan bahagia juga keluar dari semua mata yang tertuju kepadaku. Siapa dia, siapa itu dan siapa, yang selalu ada di anganku. Tiada yang kutahu satupun mereka. Aku hanya tersenyum bahagia dalam tangisku. Aku bahagia melihat orang-orang di sekitarku.
Kulihat sesorang dengan wajah sangat rupawan. Dia cantik, mungkin seperti wajahku. Dia membawaku dengan lembut. Mendekapku dalam kehangatan. Serta memberikanku sesuap energi agar aku mampu tumbuh dan besar. Aku hanya melihat ke arahnya, yang juga selalu menatap sayang ke arahku. Terkadang orang itu tersenyum kepadaku. Tetapi, dengan wajah putih lagi bersih itu, sesekali dia mengeluaran cairan dari matanya. Matanya begitu memerah. Tiada senyuman lagi yang dapat kulihat darinya.
Ternyata dia adalah bundaku. Sang bunda yang dengan susah payah mengeluarkan aku dari dalam rahimnya. Dengan mengeluarkan keringat yang seakan membanjiri ruangan dengan nuansa putih ini. “Kali ini aku menatap dunia, dunia yang penuh dengan cinta dan tempatku berkarya serta nantinya”.
Aku tahu Bunda, ternyata tangisanku tak pernah kau harapkan. Kehadiranku tak pernah kau bayangkan. Dan hadirku tak pernah kau idamkan. Seandainya waktu dapat kuputar, aku takkan mau keluar. Andai aku mampu mengelak, aku akan menolak, jika Tuhan meniupkan ruh-Nya ke dalam jasadku. Tetapi, aku tak sanggup menghindar dari kehendak-Nya.
Bunda, tangisanmu tidak akan membuat waktu terulang kembali. Tangisanmu tak mampu menghentikan detikan waktu yang kian cepat. Bunda, tangisan hanyalah sepihan air mata yang keluar dari organ yang mungil dan tiada berdosa ini. Tangisan hanya membuatmu sedih wahai bunda.
“Bunda, luapkanlah kesedihan yang mendalam padaku. Sungguh, aku yang tiada tahu apa-apa dan tiada berdosa, hanya bisa melihat bunda menangis”.
T“Bunda janganlah menangis, karena kekhilafan bundalah, Allah meniupkan ruh kepadaku. Aku tumbuh dan berkembang di dalam rahimmu, jangan sesali aku yang berada di pangkuanmu, sesalilah perbuatanmu, jangan habisi nyawaku bunda, akulah makhluk Allah yang juga ingin merasakan nikmat dunia”.
“Bunda, rawatlah aku hingga aku dewasa. Aku akan berkarya. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik buat bunda. Walaupun kehadiranku tak pernah kau inginkan, tapi aku bisa menjadi apa yang bisa kau banggakan. Sayangi aku bunda, sebagaimana engkau menyayangi dirimu sendiri. Dan aku takkan pernah pernah malu, karena kulahir dengan perbuatan yang sungguh sangat dilarang oleh agama. Aku juga takkan pernah malu menjadikanmu sebagai bundaku”.

Sabtu, Desember 18, 2010

Ngenet di Luar Angkasa


internetan....sekarang bisa dimana-mana. nah inilah efek dari perkembangan TI. nah, ternyata di luar angkasa pun bisa maen internet. wah wah wah keren gak tu
lihat yu... ke http://www.rileks.com/lifestyle/technoz/sains-teknologi/31243-di-luar-angkasa-bisa-main-internet.html

Di Luar Angkasa Bisa Main Internet
25 Jan 2010

Dengan teknologi sangat tinggi, untuk pertama kalinya, astronaut di luar angkasa akhirnya bisa mengakses internet.

Timotius (TJ) Creamer, awak Stasiun Luar Angkasa Internasional, telah bekerja dengan pengendali penerbangan untuk membangun akses internet dari pos orbit sejak peluncuran pada bulan lalu. Tidak sia-sia, pada Jumat (22/1), usaha tersebut terbayar. Ia berhasil mengirim posting pertama lewat Twitter dari luar angkasa.

"Halo Twitterverse! Kami kini langsung tweeting dari International Space Station. Pertama kalinya tweet dari angkasa! :)," tulis Creamer. Selain dia, ikut juga kosmonaut Rusia Oleg Kotov dan astronaut Jepang Soichi Noguchi

Sebelumnya, astronaut harus mengirim status terbaru seperti Twitter melalui e-mail ke pengontrol misi di Houston. Kemudian pengontrol mem-posting-nya di tweets. Awak Stasiun Luar Angkasa Internasional sekarang dapat menggunakan laptop untuk mencapai komputer di pengontrol misi sehingga bisa menjelajah Web. Akses internet jarak jauh ini mungkin terjadi jika ada hubungan komunikasi berkecepatan tinggi.

Peristiwa itu diharapkan mampu memberikan dorongan moral yang besar. "Mereka berkomitmen untuk menghabiskan berbulan-bulan untuk jauh dari keluarga dan teman-teman. Ini keadaan unik dari isolasi," kata juru bicara NASA Kelly Humphries. "Kami berharap hal itu dapat meningkatkan semangat kerja dan produktivitas," ujarnya.

Namun, itu bukan berarti astronaut akan bisa bebas berinternet. Mereka akan tetap tunduk pada pedoman akses internet yang sama seperti pegawai pemerintah lainnya, yaitu tidak mengganggu pekerjaan. "Itu tergantung individu," kata Humphries sambil tertawa kecil. "Jadi, mereka akan mengerjakan pekerjaan mereka terlebih dahulu," ujarnya. (rtr/zet)

bisnis on line


second article about "PERKEMBANGAN TI"

tau nggak, tentang bisnis on line?
ternyata dengan on line bisa menelurkan uang, tu khan nggak hanya ayam yang bisa bertelur

simak yuk
http://www.mikrobisnis.com/keuntungan-bisnis-online-low-cost-high-impact/

Bisnis online pelan-pelan akan menjadi trend di Indonesia dan akan terus menjadi trend. Mengapa? Karena modal yang dibutuhkan untuk membangun bisnis online tidaklah sebesar jika mengembangkan bisnis offline.

Inlah kelebihan-kelebihan bisnis online yang menjadi magnet bagi banyak orang:

Modal yang relatif kecil.
Untuk membangun bisnis online maka dapat dimulai dalam skala mikro bisnis. Artinya setiap orang berpeluang menjadi pengusaha tanpa dibatasi kendala lokasi di mana dia berada. Biaya yang terbesar untuk membangun bisnis online adalah dalam penyiapan produknya dan membangun web penjualan online atau toko online. Kedua hal tsbpun dapat diminimalkan. Untuk membangun produk , dengan asumsi anda ahli di produk yang akan anda jual maka dapat meminimalkan biayanya. Sedangkan untuk membangun toko online dapat diminimalkan dengan tersedianya open source untuk mengembangkannya. Mikrobisnis.com pun melayani pembuatan toko onine dengan biaya yang tidak terlalu besar.

Pasar yang tidak terbatas.
Pasar yang dapat dituju dalam bisnis online adalah skala global. Membuat produk yang dapat diterima secara global menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan ketika akan memulai bisnis online ini.

Biaya operasional yang rendah.
Salah satu keuntungan bisnis online adalah anda tidak harus menyewa kantor atau toko untuk membangun bisnis anda. Pembuatan toko online jauh lebih kecil dari pada menyewa sebuah bangunan untuk toko. Toko online anda tidak perlu dijaga dan layanan terhadap pembeli dapat di otomatisasi dengan penambahan fitur pada toko online anda.

Transaksi 24 Jam
Dengan toko online maka pengunjung dapat melakukan proses pembelian kapan saja mereka menginginkan. Pengunjung dapat juga seolah-olah merasa dilayani karena ditunjang oleh sistem otomatisasi toko online tsb. Sehingga tanpa penjaga, toko online dapat beroperasi dan bertransaksi 24 jam.

Memiliki sistem pembayaran di muka.
Sistem pembayaran yang dimuka yang telah menjadi standar dari bisnis online sangat mengurangi resiko dari pelaku bisnis online..

Kemudahan dalam sistem pembayaran.
Telah tersedia internet Banking dari sebagian besar bank besar di Indonesia sehingga dapat memonitor transaksi local dengan mudah, untuk transaksi global juga dapat menggunakan paypal yang telah diterima oleh sebagian besar bank besar di Indonesia.
Di tunjang dengan otomatisasi metoda pembayaran maka pengelolaan pembayaran menjadi efesien sehingga mengurangi biaya.

Sistem promosi yang Mudah dan murah.
Promosi secara online lewat milis-milis dan forum diskusi praktis hanya membutuhkan kemampuan anda dalam menulis materi promosi yang menjual dan biaya akses internet.

Akses internet yang semakin murah.
Trend yang akan muncul di Indonesia adalah akses internet yang akan semakin murah dan tersedia merata ke seluruh Indonesia. Untuk menghemat biaya akses internet anda dapat memilih provider yang menyediakan akses internet unlimited dengan biaya yang murah. Ada sebuah provider yang menyediakan akses unlimited dengan 50 ribu perbulan walaupun secara umum adalah 100 ribu perbulan. Walaupun anda juga dapat memilih akses bukan unlimited jika kebutuhan anda untuk akes internet tidak terlalu besar.

Dukungan utama terhadap bisnis online adalah adanya sistem pengiriman produk yang profesional.
Resiko yang dihadapi pebisnis online adalah ketika ada masalah dengan delivery produk kepada pembeli sehingga akan menjadi kebutuhan utama untuk bermitra dengan perusahaan yang memiliki sistem pengiriman produk yang professional. Mengabaikan hal ini akan menjadi boomerang bagi pebisnis online. Jika kebaikan dapat menyebar dengan cepat di dunia online maka keburukan atau layanan yang tidak memuaskan dari sebuah bisnis online juga dengan mudah menyebar. Sehingga hal yang patut diperhatikan dalam bisnis online adalah jangan sekali-kali berbuat kesalahan di bisnis online yang merugikan pembeli.

Dapat dikatakan bahwa bahwa bisnis online adalah bisnis yang ‘low cost high impact’ Hal ini berarti bisnis online ini Dengan dapat dilakukan oleh semua orang maka mereka yang memulai lebih dulu dan memiliki kreatifitas dalam membangun produk maupun promosi akan menjadi unggul dalam bisnis online ini.

Oleh Andre Birowo

Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia

Teknologi Informasi di Indonesia kini telah berkembang begitu pesat, mau tahu perkembangan TI ???
Ikuti terus artikel yang mau kubagi-bagi.... oke....

Salah satu perkembangan TI adalah adanya E-Pemerintah - Menuju E-Government

yuw kita tengok !!!
http://e-pemerintah.com/

E-Government yang "juga disebut e-gov, digital government, online government atau dalam konteks tertentu transformational government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-to-Government (G2G). Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik." (Ref: Wikipedia)

Salah satu pengembangan yang sedang dilaksanakan adalah jaringan JarDikNas. Walapun keuntungan JarDikNas untuk dunia pendidikan belum begitu jelas, kesempatannya jaringan sebesar ini untuk mulai membuka fasilitas untuk e-Government adalah besar asal ada niat dan dedikasi dari pemerintah.

One Laptop Per Child

E-Pemerintah Mendukung Program "One Laptop Per Child"


"Pemerintah dapat membeli laptop berwarna hijau dan putih ini sampai 250.000 buah. Laptop ini dirancang untuk dipakai di negara berkembang. Bulan Januari, Michalis Bletsas, pejabat tinggi proyek ini mengatakan kepada BBC bahwa OLPC berharap menjual laptop ini untuk umum tahun depan. Menurut Bender, OLPC melihat beberapa keuntungan menawarkan laptop ke negara maju. Akan banyak orang mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan isi, perangkat lunak dan pendukungnya, ujar Bender. Namun terutama, katanya, cara memperluas proyek laptop ke negara-negara yang tidak mampu berpartisipasi" (Satu Laptop Untuk Setiap Anak): "To provide children around the world with new opportunities to explore, experiment and express themselves." Informasi lanjut.

Pembukaan IGOS Center Bandung

Deklarasi Penggunaan & Pengembangan IGOS telah dilakukan pada tanggal 30 Juni 2004 dan mendapatkan dukungan dari lima (5) kementrian yaitu Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Pendidikan Nasional. Kebijakan program Indonesia Go Open Source (IGOS) bertujuan meningkatkan akselerasi pendayagunaan Open Source Software (OSS) dan memperkuat upaya infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Untuk itu komunitas TIK khususnya pengguna dan pengembang OSS beserta, pemerintah, kaum profesional dan pelaku bisnis mendirikan pusat kegiatan yang berhubungan dengan OSS di kota Bandung dengan nama: IGOS Center Bandung.

Dengan Visi : Menjadi penyedia secara “One Stop Service” untuk produk dan jasa yang berbasis teknologi "Open Source Software" (OSS). Dengan target untuk perbaikan daya saing bangsa secara Sistemik dengan memanfaatkan pendekatan OPEN INNOVATION (OI).
Informsi lanjut: Press Release

Senin, 10 Maret 2008 12:16 WIB
Igos Versi Terbaru Segera Diluncurkan
JAKARTA--MI: Versi terbaru Igos (Indonesia Go Open Source) Nusantara, sistem operasi berbasis open source, akan segera diluncurkan dengan banyak kelebihan dan penyempurnaan dari versi sebelumnya (Igos 2006).
Sumber: Media Indonesia Online

Minggu, Oktober 24, 2010

Tindakan Anarkis, Dapatkah Menjadi Solusi?

Tindakan Anarkis, Dapatkah Menjadi Solusi?


Puluhan mahasiswa Rabu (20/10) menggelar aksi di berbagai wilayah di Indonesia. Aksi tersebut, dianggap sebagai bentuk kepedulian mahasiswa atas satu tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Tentunya, perlu persiapan yang rumit dalam menggelar aksi besar-besaran tersebut.
Berbagai upaya, tenaga serta energi mereka kuras untuk melangsungkan kegiatan akbar tersebut. Namun, realita yang terjadi di lapangan, aksi yang telah dipersiapkan dengan matang tersebut, menimbulkan berbagai kerusuhan, yang merugikan banyak pihak dan dari berbagai elemen. Baik dari kalangan mahasiswa sendiri, lingkungan sekitarnya, maupun aparat pemerintah.
Tindakan yang banyak meresahkan masyarakat tersebut, tidak selayaknya dilakukan oleh mahasiswa yang notabene adalah pemuda yang dianggap berdedikasi tinggi oleh sebagian masyarakat, berpikiran dewasa dan juga sebagai agens of change. Sebagai penerus perjuangan negara sekaligus sebagai pengisi kemerdekaan suatu negara, tentunya banyak hal yang harus dipikirkan sebelum memulai suatu tindakan. Tindakan yang menuai banyak kerugian tentunya harus dikurangi dan bahkan dihentikan.
Kerusuhan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, tentu dapat dilihat sebagai contoh kegiatan anarkis yang seharusnya dikendalikan. Banyak berbagai pihak yang telah dirugikan. Dari kalangan mahasiswa sendiri misalnya, akibat tindakan anarkis tersebut, beberapa mahasiswa menjadi korban aparat keamanan dalam mengamankan demonstrasi tersebut. Siapakah yang akan menanggung kerugian tersebut, kalau bukan dari pihak mahasiswanya sendiri. Kemudian, dilihat dari kalangan pemerintah, khususnya dari aparat keamanan dan lingkungan sekitar. Banyak petugas keamanan, dalam hal ini polisi, harus berurusan dengan hukum, terkait tindakannya yang dianggap sebagai bentuk penganiayaan terhadap mahasiswa.
Selain dilihat dari pelaku yang ada di dalamnya, ditinjau dari lingkungan sekitarpun, kerugian juga banyak ditimbulkan. Dari faktor masyarakat contohnya. Masyarakat dalam hal ini memiliki banyak peran. Selain sebagai obyek pemerintahan, masyarakat juga sebagai komentator atas segala peristiwa yang terjadi terkait pemerintahan. Mereka tidak hanya sebagai penonton dari semua kegiatan yang telah meresahkan tersebut. Masyarakat menjadi tidak dapat berpikir secara murni, terkait tindakan seperti apa yang seharusnya dilakukan, sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah. Selain itu, dari kerusuhan yang terjadi, masyarakat tidak dapat berpikir secara matang apakah pemerintahan sekarang ini sudah tepat dalam memperlakukan masyarakat, yang pada dasarnya adalah obyek dari pemerintahan. Dan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan.
Kekurang-matangan tersebut salah satunya dipicu oleh tindakan anarkis yang dilakukan, salah satunya adalah dari elemen mahasiswa. Kerusuhan yang terjadi, banyak melahirkan provokator yang mengurastak masyarakat, sehingga kurang mampu berpikir secara matang, apa arti di balik keadaan yang telah ditimbulkan ini.
Anarkis, dapatkah menjadi solusi?
Akan dibawa kemanakah bangsa Indonesia ini? Akan menjadi seperti apakah Indonesia ke depannya? Hal tersebut tentunya menjadi pikiran dan tantangan seluruh elemen masyarakat dan pemerintah saat ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah, dianggap tidak berpihak kepada rakyat dan menjadikan sebagian masyarakat ’mengamuk’ dan saling unjuk rasa atas apa yang telah dirasakan selama satu tahun pemerintahan SBY-Boediono.
Kebijakan yang sering melenakan aparat pemerintah dan banyak mengundang berbagai kontroversi dalam masyarakat. Terkadang jalan pintas melalui demonstrasi menjadi pilihan mahasiswa (yang menjadi penyeru aspirasi masyarakat Indonesia). Bahkan, demonstrasi yang anarkis dianggap sebagai solusi dalam pemecahan masalah tersebut. Namun, pada kenyataannya, tindakan anarkis tersebut tidak dapat menjadi pedoman untuk dijadikan sebuah solusi akhir dalam menindaklanjuti berbagai kontroversi yang mencuat antara masyarakat dan pemerintahan.
Kerusuhan yang terjadi tidaklah menjadikan sebuah pemecahan yang benar. Kerugian yang ditimbulkan dari kerusuhan tersebut tidaklah sedikit. Serta tidak hanya berdampak dari kondisi fisik, melainkan dari kondisi psikis. Baik orang-orang yang menjadi subyek, maupun masyarakat sekitarnya. Indonesia akan semakin ‘menderita’. Akan timbul jurang pemisah antara elemen masyarakat khususnya mahasiswa dengan aparat pemerintahan khususnya dalam hal ini adalah aparat keamanan. Keadaanpun bukan menjadi kondusif, namun menjadi kacau balau. Korban terjadi di sana-sini.
Hal ini terjadi tidak hanya kesalahan dari satu pihak. Namun, dari kedua belah pihak, antara mahasiswa sebagai pelaku dan aparat sendiri. Mahasiswa yang dengan nekad melakukan tindakan anarkismenya. Hal tersebut memacu aparat keamanan atau polisi mengeluarkan senjata tajam.
Perlunya Sinergi Antara Masyarakat dan Pemerintah
Sinergi antara masyarakat dan pemerintah, mutlak dianjurkan. Mahasiswa, dalam hal ini sebagai penyeru aspirasi masyarakat, tentunya perlu berpikir ke depan. Tidaklah mudah menjadi seorang pemimpin yang membawahi beribu bahkan beratus ribu masyarakat Indonesia, yang datang dari latar belakang, budaya dan agama yang berbeda-beda pula. Dari situlah karakter masyarakat yang beragam terbentuk.
Merancang sebuah kebijakan dan menuangkannya ke dalam realita kehidupan masyarakat pun tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang mudah. Pertentangan terjadi di sana- sini. Perdebatan pun tentunya mewarnai setiap pengambilan keputusan. Karena itu, masyarakatpun perlu menghargai akan jerih payah seorang pemimpin dalam menjaga keutuhan dan meningkatkan kemakmuran bangsa.
Sebaliknya kepada Pemerintah Indonesia. Seorang pemimpin adalah pilihan masyarakat. Dipercaya oleh masyarakat dalam membangun keberlangsungan Negara Indonesia. Bertanggungjawab kepada masyarakat dan mengabdikan diri untuk masyarakat. Pemimpin yang adil sangat diharapkan oleh masyarakat. Mampu mengubah gaya hidup masyarakat, dari yang kekurangan, menjadi masyarakat yang tercukupi akan kebutuhannya. Serta makmur di segala bidang kehidupan.
Pemerintah yang dindalkan masyarakat sebagai perancang keutuhan Negara, yang handal, diharapkan berlaku seadil-adilnya kepada masyarakat. Memberikan hak-hak masyarakat yang seharusnya mereka terima. Serta mementingkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. Hal tersebutlah, yang akan memulihkan image pemerintah Indonesia saat ini, yang telah tercoreng dari adanya kerusuhan yang terjadi.
Perlunya kerjasama yang baik antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat, diharapkan menjadi fondasi yang kuat dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerjasama yang baik diawali dari rasa saling percaya dan saling mendukung antara masyarakat dan pemerintah.

cerita pendek "ketika sedekah dipertanyakan"

KETIKA SEDEKAH DIPERTANYAKAN

Terkadang aku merasa ikhlas, terkadang aku merasa aku nggak butuh tetapi kenapa aku sering mengeluh…
Lantukan kata-kata itu cukup mewakilkan bagaimana perasaanku. Perasaan dengan keilkhlasan yang masih menggantung. Keikhlasan yang perlu dipertanyakan. Terkadang ikhlas, tetapi kenapa sering mengeluh, sering mengungkit, sering tidak rela dan banyak lagi tentang apa yang kurasakan.
Hemmm…. Kulepaskan semua beban di hati. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Semua itu kurasakan beberapa minggu yang lalu. Entah, sekarang apakah aku masih merasakan kegamangan akan keikhlasan. Aku sudah melupakan itu, sekarang kan kubuka lembaran baru di hidupku. Masa lalu kan kubingkai menjadi cerminan hidupku. Melihat mana yang hitam dan mana yang putih, karena itu adalah warna-warna kehidupan yang butuh perubahan.
Allahuakbar AllahuakbarLaailaa haillallah wallahuakbar Allahuakbar walillaa ilham
Merdunya lantunan takbir membawaku ke alam yang penuh dengan kemenangan. Balutan jilbab putih dan gamis hijau bergaris-garis putih mengantarkanku pada sebuah gerbang kesucian. Kulupakan semua goresan hitam di hatiku. Kulupakan bercak-bercak hitam yang sempat tertoreh di jiwaku. Kutumpahkan tetesan air mata taubat di atas sajadah yang membentang luas, seluas pintu maafku yang terdalam untuk saudara-saudara dan orang-orang terkasih.
Idul fitri benar-benar moment yang mengantarkanku untuk menggapai ridha-Nya. Meminta rahmad dan hidayah-Nya. Serta mengimpikan indah surga-Nya. Tak pernah kuimpikan sebelumnya, aku menjadi seperti ini. Kudekatkan wajahku di cermin. Kupandangi kembaranku di dalamnya. Kulihat dia tersenyum ke arahku. Memakai balutan jilbab, yang dihiasi dengan pancaran senyum, ditempeli dengan bunga-bunga takbir serta ditambah dengan accesoris tahmid.
Tak kuasa aku menahan air mata yang sedari tadi mengintipku di balik jernihnya mataku. Kutumpahkan air mata kesedihan, ketika aku teringat beberapa minggu yang lalu.
“Mbak sedekahnya…”, rintihan suara pengemis yang sering mondar mandir di depan rumahku. Ah…betapa jengkelnya diriku. Adikku tergopoh-gopoh lari ke dalam kamar.
Dubrakkk…
“Apaan sih Min” Bentakku.
Amin adikku menabrak kursi yang tepat di samping komputer.
Dengan tergesa-gesa dia membuka dompetku, criiing, beberapa koin yang bernilai seratus dan dua ratus rupiah jatuh ke lantai.
“Tak henti-hentinya pengemis itu datang ke sini, mau cari apa sih”, kataku kesal.
“Cari uang kak, kan dia pengemis” jawabnya polos. Sedetik kemudian Amin berlari meninggalkanku sambil membawa beberapa koin dari dompetku.
“ah…lama-lama uangku habis ni, gara-gara pengemis itu. Mana sih keluarganya, nggak peduli banget”, gumamku.
“Mbak, tadi pengemisnya bilang, makasih mas semoga lancar sekolahnya hehehehe, pengemisnya baik ya mbak, doain aku terus”, kata Amin yang mendekat ke arahku.
“Iya…kalau ada maunya pasti kaya gitu Min”, Jawabku masih dengan nada kesal.
“Ikhlas nggak mbak”, kata Amin sambil meninggalkanku yang memelototi buku karangan Habiburahman El Shirazi.

***
“Puasa-puasa enaknya ngapain ya, ehm…ngrumpi dosa, makan batal, tidur, sudah banyak tidur, kuliah, masih ntar siang…ah jadi bingung”, gumamku pelan.
“Amiiiin…”, Panggilku.
“Aku mau sekolah mbak”, Jawabnya.
Yah…Amin sekolah. Bapak ibu kerja. Nggak ada teman di rumah.
“berangkat…assalamualaikum”, teriak Amin.
“Wa’alaikumsalam” jawabku.
Beberapa detik kemudian terdengar langkah yang semakin lama semakin cepat. Kupastikan itu langkah Amin. Kenapa tu anak, lari-lari kembali ke rumah.
“mbak…huhh huhh….” Nafasnya tak beraturan. Kenapa ini anak.
“mbak…” katanya lagi masih dengan nafas yang kembang kempis.
“Apa…” jawabku dengan nada yang meninggi.
“Uang….” Katanya sambil berusaha membuka dompetku.
Segera kurebut dompet yang ada digenggamannya. Dan kuambilkan uang seribu rupiah untuknya.
“Ni…bukannya tadi sudah dapat uang dari ibu”,
“Bukan untuk itu”
“Pengemis lagi? Nanti pengemisnya keseringan datang ke rumah Min, sudahlah biarin saja, kemarin sudah kukasih bukan” kataku sambil mencari pengemis dari jendela kamarku.
“Buat di jalan mbak, kasihan, kata guru ngaji Amin, buat ladang amal di surga, uang Mbak Febri nggak akan habis deh gara-gara sedekah”, nasehatnya.
Aku hanya terdiam melanjutkan membaca barisan-barisan huruf yang tertata rapi ini.
“Mbak, dengerin Amin”, Rengeknya.
“Iyaaaa Amin, Mbak ngerti, ta-pi, nan-ti, pengemis-nya ja-di ke-se-ri-ngan, enakan di dia dong, biar dia kerja Min”, jawabku dengan nada lambat. Wajahku sudah menunjukkan wajah kesal. Tapi, Amin tetap saja merengek.
Segera saja kuambilkan, beberapa koin uang seratusan.
“Ini, dikasihkan yang bener”
“Makasih mbak, Mbak Febri cantiiik deh, semoga uangnya bertambah”, katanya sedikit merayu. Kemudian dia berlari keluar kamar dan kembali melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
***
“Feb, tau nggak sih, di rumahku banyak pengemis datang. Pinter banget ya memanfaatkan moment puasa”, kata Vira kepadaku.
“Iya..bener-bener menjengkelkan, uangku lama-lama menipis Vir, mana Amin tiap hari ngambilin uang di dompetku, hemmm dasar tu anak” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“Wah adikmu baik banget Feb, perlu dicontoh tu”
“Mana dia suka ngrayu dengan bawa kata-kata dari guru ngajinya lagi, apa nggak luluh aku”
“hahahahahaha, ikhlas nggak Feb?”
“idiih malah ketawa, kadang nggak, kadang ikhlas Vir”, Jawabku tanpa rasa berdosa.
***
“Mbaaak, sedekahnya…”
Kulihat ibu pengemis itu di depan rumah. Duh, dompetku semakin menipis. Kulihat tinggal uang lima ribuan tiga, untuk naik angkot besok. Gimana ini….
“Mana, lagi Amin, uang tadi pagi sisa nggak ya” Kataku dalam hati.
Terkadang terbesit rasa kasihan di dalam hatiku. Tetapi terkadang aku nggak rela uangku dimakan sama orang yang tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan nasibnya pada telapak tangannya saja. Seharusnya aku memberikan peluang pengemis itu untuk bekerja, jadi nggak usah keluar saja ah.
Lima menit kemudian, suara pengemis itupun hilang. Seakan ditelan angin begitu saja. Kulihat Amin baru keluar dari kamarnya. Baru bangun tidur rupanya.
“Min, tadi pengemis langgananmu datang”, kataku datar.
“Mbak kasih apa?”
“Mbak nggak punya apa-apa Min, mbak biarkan saja” jawabku sambil menyalakan TV.
“Mbak Febri kok jahat, nanti uang mbak malah cepet hilang lo” Katanya sambil masuk lagi ke kamar.
“Ah…dibilangin seperti apa juga Amin belum ngerti”, kataku dalam hati.
Tiba-tiba pengemis kedua datang. Kali ini bapak bapak dengan baju robek di punggungnya.
“Min, langgananmu lagi tu” Teriakku.
Amin membawa sebungkus roti dan dibawanya keluar. Kudengarkan suaranya dari dalam. Bilang apa ya, sama pengemis itu.
“Pak, Amin nggak punya uang, ini roti Amin buat bapak saja”, Katanya.
Beberapa menit kemudian Amin masuk dan berjalan ke arahku. Sebenarnya aku bangga dengan adikku. Tetapi, kasihan dia, roti dari ibu untuk buka puasa nanti harus dia relakan untuk pengemis. Sedangkan aku, uang tertata rapi di dompet, hanya karena tidak punya uang dengan nominal yang lebih kecil saja, kuabaikan pengemis yang datang.
“ah…biarlah”, kataku dalam hati.
***
Hik…hik….hik
Suara tangisku ternyata mampu memekakkan telinga Amin.
“Mbak, sudah gede nangis” Bentaknya. Sepertinya dia meniru lagakku. Anak kecil memang peniru yang baik.
“Kenapa?”, tanya ibu.
“Uang Febri untuk bayar sekolah tadi pagi ilang bu”, kataku sambil mengusap air mata.
“hahaha, itu akibatnya mbak nggak pernah sedekah” kata Amin.
“Heh diam kamu, anak kecil nggak tahu apa-apa”, Bentakku.
“Malah marah lagi, betul kata Amin” ibuku ikut membentakku.
Dengan wajah manyun aku masuk ke kamar. Kutelan kata-kata Amin dan ibu tadi.
“Apa benar ya, uangku hilang gara-gara tidak pernah sedekah. Bukannya aku kemaren yang ngasih uang buat Amin untuk pengemis itu”, gumamku dalam hati.

***
Allahuakbar Allahuakbar….
Adzan sholat isya berkumandang. Saatnya aku, ibu, bapak dan Amin ke masjid, yang berjarak 300 meter dari rumahku. Tidak seperti biasanya, hari ini aku memakai jilbab. Biasanya jilbab hanya kukenakan kalau aku sekolah saja. Kulihat wajah ibuku yang berseri dan kelihatan cantik dengan balutan jilbab hitamnya.
“Apakah aku juga seperti itu ya, kalau memakai jilbab setiap hari”, kataku dalam hati. Tanpa sadar ternyata aku tersenyum sendiri. Dan Amin melihatku sedari tadi.
“Kenapa mbak, stress gara-gara uangnya hilang ya mbak?” tanyanya.
Aku kaget dibuatnya. Tanpa sadar ternyata si kecil Amin melihat tingkahku tadi. Aku jadi salah tingkah.
“Ah nggak” Jawabku singkat sambil berjalan di belakang bapak.
Masjid ini selalu ramai, tidak hanya di Bulan Ramadhan, di bulan lain pun tetap makmur dan jaya. Kenapa ini ibu-ibu, ramainya mereka di masjid hari ini berbeda dari biasanya. Kulihat Vira ikut nimbrung bersama ibu-ibu yang ngrumpi itu.
“Ada-ada saja ni ibu-ibu, nggak di masjid nggak di rumah nggak di warung, ngrumpi melulu”, kataku cuek.
Vira langsung menempatkan diri di sampingku.
“Ngrumpi mulu”, kataku pelan ke arahnya.
“Eh hot news”, katanya
“Mau denger nggak?” tawar Vira.
“Nanti kali, ini dimana coba, masjid Vir” kataku. Dia hanya mengangguk dengan wajah kesal.
Kultum malam ini sesuai dengan tema hidupku hari ini. Sedekah. Apakah pidato bapak khatib kali ini menjawab pertanyaanku. Dengan sedikit mengantuk aku dengarkan kata demi kata yang terlontar dari khatib itu. Sungguh luar biasa makna sedekah dan manfaat sedekah. Seketika itu terlintas di dalam benakku. Bukannya kalau kita memberikan uang kepada pengemis, itu berarti kita tidak memberikan kesempatan kepada pengemis itu untuk bekerja. Apakah kita harus melatih pengemis untuk terus membawa tangannya untuk selalu di bawah. Memang sih sedekah tidak harus untuk pengemis. Untuk yang lainnya juga. Tetapi, kupikir-pikir selama hidupku mana pernah aku bersedekah. Malahan aku berfikir, untuk jajan saja kurang apalagi sedekah.
Terbesit lagi di benakku. Apakah hilangnya uang bayaranku juga karena aku jarang sedekah ‘mungkin’, kataku dalam hati. Seperti disiram air pegunungan yang menyegarkan. Pikiranku mulai melayang. Jiwaku mulai terguncang dan hatiku bergetar kencang.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu”, kataku dalam hati sambil menitikkan air mata yang tak tau apa sebabnya dia mendorong mataku untuk keluar.
Di dalam bayanganku terlintas pengemis tua itu. Bapak pengemis yang memang jarang ke rumah. Tetapi aku ingat, Amin memberikan roti untuknya. Dengan pakaian sobek di bagian punggungnya, pengemis itu meninggalkan rumahku dengan wajah ceria. Berbeda dengan Ibu bercaping dan berpakaian kuning lusuh yang sering datang ke rumah. Dengan wajah muram dan sedih dia meninggalkan rumahku. Dia kuabaikan beberapa jam yang lalu.
Mereka adalah ladang amal bagi kita. Tidak peduli apa niatan mereka dan apa motivasi mereka untuk mengemis, yang penting niatan kita ikhlas lillahi ta’ala.
“Ya Allah berapa saja dosa hamba selama hidup ini, Ya Allah aku telah membuat pengemis itu sedih, aku telah mengabaikannya, Astagfirullah hal’adhim, Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini”, Di dalam keheningan hatiku, aku memohon ampun kepada Sang Maha Pengampun. Kini hatiku tergerak untuk mencari sesosok pengemis tua berpakaian kuning lusuh itu. Akan kutebus semua kesalahan-kesalahanku pada pengemis itu.
***
“Feb, mau tahu nggak hot newsnya ?”, tanya Vira kepadaku.
“Apaan sih?”, jawabku datar.
“Pengemis yang sering main ke tempatmu tadi keserempet mobil”.
Tiba-tiba hatiku bergetar. Benarkah berita yang baru saja dikatakan Vira. Atau hanya gossip belaka.
“Maksudnya, ibu yang biasanya pakai pakaian kuning itu? meninggal?”, tanyaku serius.
Vira mengangguk pelan, sambil membuka pesan di handphone-nya.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu ini, sampaikan salam maafku yang teramat dalam untuk ibu pengemis itu. Ya Allah ampuni saya”, kataku dalam hati. Air mataku menetes perlahan. Aku tak kuasa menahan tangis. Rasa penyesalahanku semakin tinggi. Ya Allah sekali lagi ampuni hamba yang teramat banyak dosa ini.
Sesampai di rumah kuceritakan berita kematian pengemis itu ke keluargaku. Terutama kepada Amin, yang tak pernah lupa memberikan satu atau dua koin untuknya. Amin hanya mengangguk dan ternyata dia sudah mengetahui berita itu.
***
Kurasa hari ini sepi, tanpa ada yang memanggil ‘mbak sedekahnya’. Terkadang aku menengok keluar rumah, mana ibu pengemis itu. Ah ibunya sudah nggak mungkin lagi lewat depan rumah. Dan aku takkan melihat Amin lari-larian mengambil uang di dompetku.
Beberapa jam kemudian, aku kembali melihat Amin lari ke dalam kamarku.
“Amin kenapa?”, tanyaku heran.
“Mbak ada pengemis lagi, bapak-bapak yang kukasih roti kemarin”, katanya sambil mencari dompetku. Kuhampiri Amin. Dan tersenyum ke arah bocah kecil itu. Betapa baiknya dia. Berbeda sekali denganku.
“Mbak mana dompetnya”, bentaknya ke arahku. Aku tak peduli akan nadanya yang meninggi. Rasa sayangku kepada Amin semakin tebal. Segera kuambil dompet dan kuambilkan uang lima ribuan.
“Haa...serius mbak?”, tanyanya kaget ketika kuberikan selembar lima ribuan ke arahnya. Aku tersenyum malu. Aku hanya mengangguk pelan. Dengan pancaran senyum yang lebar, dia berlari ke arah bapak pengemis yang telah menunggu di depan rumahku.
Ya Allah seberapapun yang telah kuberikan semoga keikhlasan melekat di hatiku dan ridho-Mu selalu menaungi setiap langkahku. Ternyata berbagi itu sangat indah. Menyejukkan dan menenangkan hati. Apalagi bulan ini bulan Ramadhan, bulan suci penuh ampunan. Dan tak terasa bulan syawal juga tinggal menunggu hari. Semoga keindahan berbagi dan bersedekah akan selalu melekat di hatiku selamanya, walaupun di luar bulan syawal sekalipun. Amiin.
***
“Mbak ayo sholat ke lapangan, sudah ditunggu ibu tu”, Ajakan Amin membuyarkan lamunanku. Ternyata aku melamun. Melamunkan akan pengalamanku yang penuh dengan keberkahan. Ya Allah tetapkan aku pada keikhlasan dan keistiqomahan. Sekarang aku tahu Ternyata, tidak semua rezeki yang kuterima itu menjadi hakku. Itu juga hak saudara-saudaraku sesama muslim.
Segera kuikuti Amin dari belakang. Bapak dan ibu telah menungguku rupanya.
(Irma)

cerita pendek

KETIKA SEDEKAH DIPERTANYAKAN

Terkadang aku merasa ikhlas, terkadang aku merasa aku nggak butuh tetapi kenapa aku sering mengeluh…
Lantukan kata-kata itu cukup mewakilkan bagaimana perasaanku. Perasaan dengan keilkhlasan yang masih menggantung. Keikhlasan yang perlu dipertanyakan. Terkadang ikhlas, tetapi kenapa sering mengeluh, sering mengungkit, sering tidak rela dan banyak lagi tentang apa yang kurasakan.
Hemmm…. Kulepaskan semua beban di hati. Akhirnya aku bisa bernafas lega. Semua itu kurasakan beberapa minggu yang lalu. Entah, sekarang apakah aku masih merasakan kegamangan akan keikhlasan. Aku sudah melupakan itu, sekarang kan kubuka lembaran baru di hidupku. Masa lalu kan kubingkai menjadi cerminan hidupku. Melihat mana yang hitam dan mana yang putih, karena itu adalah warna-warna kehidupan yang butuh perubahan.
Allahuakbar AllahuakbarLaailaa haillallah wallahuakbar Allahuakbar walillaa ilham
Merdunya lantunan takbir membawaku ke alam yang penuh dengan kemenangan. Balutan jilbab putih dan gamis hijau bergaris-garis putih mengantarkanku pada sebuah gerbang kesucian. Kulupakan semua goresan hitam di hatiku. Kulupakan bercak-bercak hitam yang sempat tertoreh di jiwaku. Kutumpahkan tetesan air mata taubat di atas sajadah yang membentang luas, seluas pintu maafku yang terdalam untuk saudara-saudara dan orang-orang terkasih.
Idul fitri benar-benar moment yang mengantarkanku untuk menggapai ridha-Nya. Meminta rahmad dan hidayah-Nya. Serta mengimpikan indah surga-Nya. Tak pernah kuimpikan sebelumnya, aku menjadi seperti ini. Kudekatkan wajahku di cermin. Kupandangi kembaranku di dalamnya. Kulihat dia tersenyum ke arahku. Memakai balutan jilbab, yang dihiasi dengan pancaran senyum, ditempeli dengan bunga-bunga takbir serta ditambah dengan accesoris tahmid.
Tak kuasa aku menahan air mata yang sedari tadi mengintipku di balik jernihnya mataku. Kutumpahkan air mata kesedihan, ketika aku teringat beberapa minggu yang lalu.
“Mbak sedekahnya…”, rintihan suara pengemis yang sering mondar mandir di depan rumahku. Ah…betapa jengkelnya diriku. Adikku tergopoh-gopoh lari ke dalam kamar.
Dubrakkk…
“Apaan sih Min” Bentakku.
Amin adikku menabrak kursi yang tepat di samping komputer.
Dengan tergesa-gesa dia membuka dompetku, criiing, beberapa koin yang bernilai seratus dan dua ratus rupiah jatuh ke lantai.
“Tak henti-hentinya pengemis itu datang ke sini, mau cari apa sih”, kataku kesal.
“Cari uang kak, kan dia pengemis” jawabnya polos. Sedetik kemudian Amin berlari meninggalkanku sambil membawa beberapa koin dari dompetku.
“ah…lama-lama uangku habis ni, gara-gara pengemis itu. Mana sih keluarganya, nggak peduli banget”, gumamku.
“Mbak, tadi pengemisnya bilang, makasih mas semoga lancar sekolahnya hehehehe, pengemisnya baik ya mbak, doain aku terus”, kata Amin yang mendekat ke arahku.
“Iya…kalau ada maunya pasti kaya gitu Min”, Jawabku masih dengan nada kesal.
“Ikhlas nggak mbak”, kata Amin sambil meninggalkanku yang memelototi buku karangan Habiburahman El Shirazi.

***
“Puasa-puasa enaknya ngapain ya, ehm…ngrumpi dosa, makan batal, tidur, sudah banyak tidur, kuliah, masih ntar siang…ah jadi bingung”, gumamku pelan.
“Amiiiin…”, Panggilku.
“Aku mau sekolah mbak”, Jawabnya.
Yah…Amin sekolah. Bapak ibu kerja. Nggak ada teman di rumah.
“berangkat…assalamualaikum”, teriak Amin.
“Wa’alaikumsalam” jawabku.
Beberapa detik kemudian terdengar langkah yang semakin lama semakin cepat. Kupastikan itu langkah Amin. Kenapa tu anak, lari-lari kembali ke rumah.
“mbak…huhh huhh….” Nafasnya tak beraturan. Kenapa ini anak.
“mbak…” katanya lagi masih dengan nafas yang kembang kempis.
“Apa…” jawabku dengan nada yang meninggi.
“Uang….” Katanya sambil berusaha membuka dompetku.
Segera kurebut dompet yang ada digenggamannya. Dan kuambilkan uang seribu rupiah untuknya.
“Ni…bukannya tadi sudah dapat uang dari ibu”,
“Bukan untuk itu”
“Pengemis lagi? Nanti pengemisnya keseringan datang ke rumah Min, sudahlah biarin saja, kemarin sudah kukasih bukan” kataku sambil mencari pengemis dari jendela kamarku.
“Buat di jalan mbak, kasihan, kata guru ngaji Amin, buat ladang amal di surga, uang Mbak Febri nggak akan habis deh gara-gara sedekah”, nasehatnya.
Aku hanya terdiam melanjutkan membaca barisan-barisan huruf yang tertata rapi ini.
“Mbak, dengerin Amin”, Rengeknya.
“Iyaaaa Amin, Mbak ngerti, ta-pi, nan-ti, pengemis-nya ja-di ke-se-ri-ngan, enakan di dia dong, biar dia kerja Min”, jawabku dengan nada lambat. Wajahku sudah menunjukkan wajah kesal. Tapi, Amin tetap saja merengek.
Segera saja kuambilkan, beberapa koin uang seratusan.
“Ini, dikasihkan yang bener”
“Makasih mbak, Mbak Febri cantiiik deh, semoga uangnya bertambah”, katanya sedikit merayu. Kemudian dia berlari keluar kamar dan kembali melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
***
“Feb, tau nggak sih, di rumahku banyak pengemis datang. Pinter banget ya memanfaatkan moment puasa”, kata Vira kepadaku.
“Iya..bener-bener menjengkelkan, uangku lama-lama menipis Vir, mana Amin tiap hari ngambilin uang di dompetku, hemmm dasar tu anak” Jawabku sambil geleng-geleng kepala.
“Wah adikmu baik banget Feb, perlu dicontoh tu”
“Mana dia suka ngrayu dengan bawa kata-kata dari guru ngajinya lagi, apa nggak luluh aku”
“hahahahahaha, ikhlas nggak Feb?”
“idiih malah ketawa, kadang nggak, kadang ikhlas Vir”, Jawabku tanpa rasa berdosa.
***
“Mbaaak, sedekahnya…”
Kulihat ibu pengemis itu di depan rumah. Duh, dompetku semakin menipis. Kulihat tinggal uang lima ribuan tiga, untuk naik angkot besok. Gimana ini….
“Mana, lagi Amin, uang tadi pagi sisa nggak ya” Kataku dalam hati.
Terkadang terbesit rasa kasihan di dalam hatiku. Tetapi terkadang aku nggak rela uangku dimakan sama orang yang tidak mau bekerja dan hanya menggantungkan nasibnya pada telapak tangannya saja. Seharusnya aku memberikan peluang pengemis itu untuk bekerja, jadi nggak usah keluar saja ah.
Lima menit kemudian, suara pengemis itupun hilang. Seakan ditelan angin begitu saja. Kulihat Amin baru keluar dari kamarnya. Baru bangun tidur rupanya.
“Min, tadi pengemis langgananmu datang”, kataku datar.
“Mbak kasih apa?”
“Mbak nggak punya apa-apa Min, mbak biarkan saja” jawabku sambil menyalakan TV.
“Mbak Febri kok jahat, nanti uang mbak malah cepet hilang lo” Katanya sambil masuk lagi ke kamar.
“Ah…dibilangin seperti apa juga Amin belum ngerti”, kataku dalam hati.
Tiba-tiba pengemis kedua datang. Kali ini bapak bapak dengan baju robek di punggungnya.
“Min, langgananmu lagi tu” Teriakku.
Amin membawa sebungkus roti dan dibawanya keluar. Kudengarkan suaranya dari dalam. Bilang apa ya, sama pengemis itu.
“Pak, Amin nggak punya uang, ini roti Amin buat bapak saja”, Katanya.
Beberapa menit kemudian Amin masuk dan berjalan ke arahku. Sebenarnya aku bangga dengan adikku. Tetapi, kasihan dia, roti dari ibu untuk buka puasa nanti harus dia relakan untuk pengemis. Sedangkan aku, uang tertata rapi di dompet, hanya karena tidak punya uang dengan nominal yang lebih kecil saja, kuabaikan pengemis yang datang.
“ah…biarlah”, kataku dalam hati.
***
Hik…hik….hik
Suara tangisku ternyata mampu memekakkan telinga Amin.
“Mbak, sudah gede nangis” Bentaknya. Sepertinya dia meniru lagakku. Anak kecil memang peniru yang baik.
“Kenapa?”, tanya ibu.
“Uang Febri untuk bayar sekolah tadi pagi ilang bu”, kataku sambil mengusap air mata.
“hahaha, itu akibatnya mbak nggak pernah sedekah” kata Amin.
“Heh diam kamu, anak kecil nggak tahu apa-apa”, Bentakku.
“Malah marah lagi, betul kata Amin” ibuku ikut membentakku.
Dengan wajah manyun aku masuk ke kamar. Kutelan kata-kata Amin dan ibu tadi.
“Apa benar ya, uangku hilang gara-gara tidak pernah sedekah. Bukannya aku kemaren yang ngasih uang buat Amin untuk pengemis itu”, gumamku dalam hati.

***
Allahuakbar Allahuakbar….
Adzan sholat isya berkumandang. Saatnya aku, ibu, bapak dan Amin ke masjid, yang berjarak 300 meter dari rumahku. Tidak seperti biasanya, hari ini aku memakai jilbab. Biasanya jilbab hanya kukenakan kalau aku sekolah saja. Kulihat wajah ibuku yang berseri dan kelihatan cantik dengan balutan jilbab hitamnya.
“Apakah aku juga seperti itu ya, kalau memakai jilbab setiap hari”, kataku dalam hati. Tanpa sadar ternyata aku tersenyum sendiri. Dan Amin melihatku sedari tadi.
“Kenapa mbak, stress gara-gara uangnya hilang ya mbak?” tanyanya.
Aku kaget dibuatnya. Tanpa sadar ternyata si kecil Amin melihat tingkahku tadi. Aku jadi salah tingkah.
“Ah nggak” Jawabku singkat sambil berjalan di belakang bapak.
Masjid ini selalu ramai, tidak hanya di Bulan Ramadhan, di bulan lain pun tetap makmur dan jaya. Kenapa ini ibu-ibu, ramainya mereka di masjid hari ini berbeda dari biasanya. Kulihat Vira ikut nimbrung bersama ibu-ibu yang ngrumpi itu.
“Ada-ada saja ni ibu-ibu, nggak di masjid nggak di rumah nggak di warung, ngrumpi melulu”, kataku cuek.
Vira langsung menempatkan diri di sampingku.
“Ngrumpi mulu”, kataku pelan ke arahnya.
“Eh hot news”, katanya
“Mau denger nggak?” tawar Vira.
“Nanti kali, ini dimana coba, masjid Vir” kataku. Dia hanya mengangguk dengan wajah kesal.
Kultum malam ini sesuai dengan tema hidupku hari ini. Sedekah. Apakah pidato bapak khatib kali ini menjawab pertanyaanku. Dengan sedikit mengantuk aku dengarkan kata demi kata yang terlontar dari khatib itu. Sungguh luar biasa makna sedekah dan manfaat sedekah. Seketika itu terlintas di dalam benakku. Bukannya kalau kita memberikan uang kepada pengemis, itu berarti kita tidak memberikan kesempatan kepada pengemis itu untuk bekerja. Apakah kita harus melatih pengemis untuk terus membawa tangannya untuk selalu di bawah. Memang sih sedekah tidak harus untuk pengemis. Untuk yang lainnya juga. Tetapi, kupikir-pikir selama hidupku mana pernah aku bersedekah. Malahan aku berfikir, untuk jajan saja kurang apalagi sedekah.
Terbesit lagi di benakku. Apakah hilangnya uang bayaranku juga karena aku jarang sedekah ‘mungkin’, kataku dalam hati. Seperti disiram air pegunungan yang menyegarkan. Pikiranku mulai melayang. Jiwaku mulai terguncang dan hatiku bergetar kencang.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu”, kataku dalam hati sambil menitikkan air mata yang tak tau apa sebabnya dia mendorong mataku untuk keluar.
Di dalam bayanganku terlintas pengemis tua itu. Bapak pengemis yang memang jarang ke rumah. Tetapi aku ingat, Amin memberikan roti untuknya. Dengan pakaian sobek di bagian punggungnya, pengemis itu meninggalkan rumahku dengan wajah ceria. Berbeda dengan Ibu bercaping dan berpakaian kuning lusuh yang sering datang ke rumah. Dengan wajah muram dan sedih dia meninggalkan rumahku. Dia kuabaikan beberapa jam yang lalu.
Mereka adalah ladang amal bagi kita. Tidak peduli apa niatan mereka dan apa motivasi mereka untuk mengemis, yang penting niatan kita ikhlas lillahi ta’ala.
“Ya Allah berapa saja dosa hamba selama hidup ini, Ya Allah aku telah membuat pengemis itu sedih, aku telah mengabaikannya, Astagfirullah hal’adhim, Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini”, Di dalam keheningan hatiku, aku memohon ampun kepada Sang Maha Pengampun. Kini hatiku tergerak untuk mencari sesosok pengemis tua berpakaian kuning lusuh itu. Akan kutebus semua kesalahan-kesalahanku pada pengemis itu.
***
“Feb, mau tahu nggak hot newsnya ?”, tanya Vira kepadaku.
“Apaan sih?”, jawabku datar.
“Pengemis yang sering main ke tempatmu tadi keserempet mobil”.
Tiba-tiba hatiku bergetar. Benarkah berita yang baru saja dikatakan Vira. Atau hanya gossip belaka.
“Maksudnya, ibu yang biasanya pakai pakaian kuning itu? meninggal?”, tanyaku serius.
Vira mengangguk pelan, sambil membuka pesan di handphone-nya.
“Ya Allah ampuni hamba-Mu ini, sampaikan salam maafku yang teramat dalam untuk ibu pengemis itu. Ya Allah ampuni saya”, kataku dalam hati. Air mataku menetes perlahan. Aku tak kuasa menahan tangis. Rasa penyesalahanku semakin tinggi. Ya Allah sekali lagi ampuni hamba yang teramat banyak dosa ini.
Sesampai di rumah kuceritakan berita kematian pengemis itu ke keluargaku. Terutama kepada Amin, yang tak pernah lupa memberikan satu atau dua koin untuknya. Amin hanya mengangguk dan ternyata dia sudah mengetahui berita itu.
***
Kurasa hari ini sepi, tanpa ada yang memanggil ‘mbak sedekahnya’. Terkadang aku menengok keluar rumah, mana ibu pengemis itu. Ah ibunya sudah nggak mungkin lagi lewat depan rumah. Dan aku takkan melihat Amin lari-larian mengambil uang di dompetku.
Beberapa jam kemudian, aku kembali melihat Amin lari ke dalam kamarku.
“Amin kenapa?”, tanyaku heran.
“Mbak ada pengemis lagi, bapak-bapak yang kukasih roti kemarin”, katanya sambil mencari dompetku. Kuhampiri Amin. Dan tersenyum ke arah bocah kecil itu. Betapa baiknya dia. Berbeda sekali denganku.
“Mbak mana dompetnya”, bentaknya ke arahku. Aku tak peduli akan nadanya yang meninggi. Rasa sayangku kepada Amin semakin tebal. Segera kuambil dompet dan kuambilkan uang lima ribuan.
“Haa...serius mbak?”, tanyanya kaget ketika kuberikan selembar lima ribuan ke arahnya. Aku tersenyum malu. Aku hanya mengangguk pelan. Dengan pancaran senyum yang lebar, dia berlari ke arah bapak pengemis yang telah menunggu di depan rumahku.
Ya Allah seberapapun yang telah kuberikan semoga keikhlasan melekat di hatiku dan ridho-Mu selalu menaungi setiap langkahku. Ternyata berbagi itu sangat indah. Menyejukkan dan menenangkan hati. Apalagi bulan ini bulan Ramadhan, bulan suci penuh ampunan. Dan tak terasa bulan syawal juga tinggal menunggu hari. Semoga keindahan berbagi dan bersedekah akan selalu melekat di hatiku selamanya, walaupun di luar bulan syawal sekalipun. Amiin.
***
“Mbak ayo sholat ke lapangan, sudah ditunggu ibu tu”, Ajakan Amin membuyarkan lamunanku. Ternyata aku melamun. Melamunkan akan pengalamanku yang penuh dengan keberkahan. Ya Allah tetapkan aku pada keikhlasan dan keistiqomahan. Sekarang aku tahu Ternyata, tidak semua rezeki yang kuterima itu menjadi hakku. Itu juga hak saudara-saudaraku sesama muslim.
Segera kuikuti Amin dari belakang. Bapak dan ibu telah menungguku rupanya.
(Irma)

Senin, September 27, 2010

TAMPILAN BARU

TAMPILAN BARU SEMANGAT BARUUUU
Lama banget gak entri tulisan2ku
semoga semangat menulis tetap ada di hatiku
aminnn

Selasa, Mei 04, 2010

ayo menulissssssss

ikatlah ilmumu dengan menulis....
ayo frend semangat buat nulis, nulis dan nulis
katakan iyyyaaaaa untuk menulis
tulisan itu mampu mengubah dunia (dikutip dari mana lupa aku ^_^)

Jumat, Januari 15, 2010

RANGKAIAN DOA UNTUK BUNDA

Air mataku menetes mengiringi alunan takbir yang kian merdu. Ku tak kuasa menahan dorongan air mata yang kian kuat. Ku biarkan air ini keluar dan membuat mataku sayu dan mengukir bengkakan di sekelilingnya.
Allahu akbar…
Allahu akbar…
Laailahaillah wallahu akbar…
Allahu akbar walillaa ilham…
Senandung yang kian lama kian kuat menerkam hatiku. Kurebahkan tubuhku di atas sajadah yang sedari tadi menemaniku di dalam tahajud. Tak pernah kusangka, tak pernah kubayangkan, ramadhan yang ditunggu-tunggu setiap muslim telah pergi begitu saja. Dan tibalah hari fitri yang selalu ditunggu-tunggu apalagi untuk Beta adikku, yang terkadang salah menilai apa arti idul fitri baginya. Tak lama kemudian, kuterlarut dalam mimpi di atas sajadah hijau tuaku.

“Mbak…mbak…mbak Meta…” Suara khas adikku tlah membuyarkanku dari mimpi di bawah alam sadar. Kulihat jam dinding di kamarku tlah menunjukkan pukul 04.30.
Kudapati Beta adikku yang tak sabar ingin segera mengenakan baju baru di hari fitri ini. Hari fitri pertamaku. Ya…pertama kali aku merayakan Idul fitri tanpa kedua orangtuaku. Di sini, hanya aku dan si kecil Beta yang setia menemaniku menempati bangunan yang umurnya melebihi umurku yang sebentar lagi akan menginjak kepala dua.
“Ayo mbak kita Sholat subuh”, Rengek Beta.
“Beta, kamu sudah mandi?”, Tanyaku heran. Tak biasanya Beta mandi sepagi ini. Benar-benar rekor dia hari ini. Hari fitrilah yang membuatnya jadi begini. Dia begitu senang, apalagi dengan balutan busana muslim coklatnya itu. Busana muslim peninggalan ibuku tercinta. Beliau dengan susah payah menjahitkannya untuk Beta satu bulan yang lalu sebelum beliau pergi meninggalkan kami tuk slama-lamanya. Begitu pahit kurasakan hidupku ini. Sejak kecil kami telah kehilangan bapak tercinta. Kata ibuku beliau pergi dari rumah karena kondisi ekonomi dan sekarang tak tahu dimana bapak, mungkin benar-benar lupa dengan keluarga yang selalu menanti-nanti kepulangannya. Oh…Ibu, kanker payudaralah yang telah merenggut nyawa ibu. Tetapi, aku senang melihat Beta yang sering tersenyum menghiburku, seakan-akan dia tak peduli tentang apa yang telah menimpanya. Dia memang masih kecil tuk mengerti ini semua. “Ayolah mbak jangan melamun”. Rengeknya lagi.
Takkan kusia-siakan waktu subuh ini, karena aku tak yakin subuh esok hari aku masih bisa menikmatinya.

Aku tak mengharapkan baju baru di setiap Idul fitri tiba, kalau toh baru, Alhamdulillah. Aku bergegas mengajak adikku bersiap-siap menunaikan sholat ied ke lapangan. Kumandang takbir yang menyeru kebesaran Illahi terus mengalun indahnya, seolah-olah mengiringi kepergian ibuku sebulan lalu. Aku tak pernah menyangka, Idul fitri kemarin, terakhir untuk ibuku. Ibu yang telah membawaku seperti sekarang ini. Mengajariku akan arti dan lika-liku kehidupan serta cobaan dan ujian yang tak letih menjemput dan merayu keluargaku. Bagiku, cobaan bukanlah hal yang harus ditaklukkan, tapi untukdihadapi. Beribu-ribu cobaan yang menerpa pun akan sulit untuk kita hilangkan, karena izin-Nya lah dia ada. Aku yang harus menghadapinya, biar sepahit apapun itu, karena itulah jalan terbaikku untuk menuju kemulyaan hidup.

Seusai Sholat takkan pernah kulupa, doa untuk ibu bapakku. Doa penuh makna, penuh pengharapan yang sangat, serta doa yang penuh dengan isakan tangis tuk meminta belas kasihan-Nya.
“Mbak Meta kok nangis?”, Suara polos Beta membuatku kaget dan segera mengusap air mata yang trus menetesi pipiku.
“Ehm…nggak, siapa yang nangis, mbak sedang terharu…”, Kataku terputus oleh isakan tangis yang tak bisa kutahan.
“Terharu kenapa?”.
“Terharu…karena kita masih diberikan kesempatan oleh Allah tuk menikmati indahnya idul fitri ini”, Jelasku.
Dia hanya sambil mengangguk-angguk. Aku tersenyum dibuatnya. Anak sekecil dia harus setia menemaniku mengarungi manis pahitnya hidup tanpa orangtua. Tak lupa kukatakan padanya tuk selalu mendoakan ibu dan bapak.
“Siiip, so pasti kak doaku hanya untuk ibu dan bapak he…he...”, Jawabnya yang lagi-lagi membuatku semakin kuat menjalani hidup ini. Sesungguhnya Betalah motivator terbesar dalam hidupku.

“Ayo ke rumah nenek Beta!” Ajakku. Di sini aku masih punya saudara. Masih banyak mereka-mereka yang sayang kepada kami. Ada paman, bibi serta yang lainnya. Yang tak kalah penting adalah nenekku yang sudah lima tahun ditinggal kakek. Beliau tak bosan-bosannya mendengar celotehan dan tangisan Beta, apalagi di saat Beta tak ada teman, karena aku harus bergelut dengan mata kuliah yang begitu menyita kebersamaanku dengannya. Tapi, itulah kewajibanku di luar kewajiban menjadi seorang kepala ‘rumah tangga’ yang harus mendidik adik satu-satunya. Pesan ibu aku tak boleh menyi-nyiakan pendidikan, dengannya aku bisa mendidik adikku dan tentunya niatan ibadah karena-Nya.
Beta hari ini memang Nampak letih sekali. Aku takut terjadi apa-apa dengannya, sakit misalnya. Aku trauma dengan sakitnya beberapa bulan silam. Tiba-tiba dia jatuh pingsan, badannya panas. Untung saja dokter cepat bertindak. Katanya sih masuk angin ‘kasep’. Mungkin karena dia sering hujan-hujanan dengan teman-temannya. Dasar anak kecil. Tapi, saat ini lain, dia kelihatan tak bersemangat.
“Ada apa denganmu my baby?”, Tanyaku dengan panggilan sayangku kepada adikku tercinta.
Tiba-tiba dia menangis. Aku tak tau apa yang harus aku perbuat. Kenapa dia.
“Ibu…”, Katanya lirih.
Aku kaget dibuatnya. Kenapa dia tiba-tiba teringat ibu. Mungkin itu hal yang wajar. Baru sebulan dia ditinggal ibu. Apalagi dia tak pernah membayangkan, akan ditinggal ibu begitu cepatnya. Aku tau pasti dia merasa sangat kesepian. Aku bingung harus bagaimana, tiba-tiba ideku seakan-akan hilang ditelan waktu. Tetesan air mata tak bisa kutepis dengan apapun. Kubiarkan ia meleleh membasahiku. Kupeluk Beta erat-erat.
“Beta…yang sabar ya nak…kalau Beta nangis, nanti ibu juga akan sedih di surga”. Hiburku. Kata-kataku seolah hanya diterpa angin begitu saja. Beta tak memperdulikan apa yang aku katakan. Kubiarkan dia larut dalam tangis dipelukanku.
Tanpa kusadari, paman dan bibi masuk ke dalam rumah yang sengaja tak kututup pintunya. Mereka sengaja tak mengetok pintu, karena melihat kami nangis sesenggukan. Tanpa kuceritakan pun aku pasti mereka mengerti kenapa kami menangis.
Bibi mendekat dan memeluk kami, sambil menangis pula. Lalu sebuah kata-kata manis terucap dari bibir beliau.
“Anak-anakku jangan menangis…ibu kalian pasti tak rela melihat kalian menangis begitu, nanti kalau ibu sedih gimana?”.
Beta tetap saja menangis. Lalu kugendong dia. Semua jadi menangis dibuatnya.
“Beta… mau ngedoain ibu….”, Jawabnya sambil terus menangis. Aku kaget dengar jawaban Beta. Subhanallah Beta, kau benar-benar seperti orang, dewasa walapun usiamu masih menginjak 4 tahun.
Kemudian paman mendekati kami.
“Kalau Beta mau ngedoain ibu, Beta nggak boleh nangis ya…”
Dengan kata-kata paman, tangis Beta mereda sedikit demi sedikit.

Kami pun segera ke rumah nenek. Tak sabar rasanya ingin bertemu nenek, walaupun setiap hari pun kita selalu bertatap muka. Aku tak ingin melihat nenek kesepian di rumah sendiri, tanpa cucu-cucunya.
Setelah kami bersalam-salaman dengan nenek maupun paman, bibi dan yang lain, kami segera menyicipi masakan bibi, ehm…enak sekali opor ayam kesukaan Beta.
“Beta makan yang banyak ya…”, Hiburku. Aku yakin saat ini Beta memang masih merasa kehilangan, air matanya pun masih berlinang, seakan-akan malu tuk keluar.
Tiba-tiba saja paman menggendong Beta keluar, entah apa yang akan dikatakan paman tuk menghibur Beta. Kulihat di luar Beta bisa tertawa-tawa seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Dia memang anak yang tegar.
Aku tak tahu apa yang dikatakan paman pada Beta di luar tadi, yang jelas sekarang ada perubahan yang luar biasa pada diri Beta. Setiap selesai sholat berjamaah denganku, tak segan-segan dia mengingatkanku tuk selalu mendoakan ibu. Aku juga mengingatkannya tuk mendoakan bapak. Aku tetap berharap suatu saat nanti bisa bertemu dengan beliau dalam keadaan apapun.

Yang Terlupa untuk Di hargai…

Sreeg…sreeeeg…sreeeeg…
Lantunan merdu kumpulan lidi-lidi yang terikat menjadi sebuah sapu. Sapu yang terayun oleh seorang ibu dengan nafas kembang kempis. Aku tak tega melihat ibu-ibu dengan kaos dan topi yang bertengger di atas kepalanya dan mengucurkan keringat dengan upah yang tiada seberapa. Tapi, aku tahu, itu semua demi keluarga mereka.

Tatapan tulus seorang ibu dan melayangkan senyumnya padaku. Dengan cepatnya ibu itu meneruskan kembali pekerjaan yang menghabiskan banyak keringat. Kusambut senyuman itu dengan lembut, tapi beliau tak sempat melihat senyumku yang menyimpan sejuta rasa iba yang mendekam di dalam hati. Kukayuh terus sepedaku yang selalu setia mengantarkanku sampai tempatku mengais dan menimba ilmu.
Hijaunya kampusku. Kata-kata itulah yang tak lepas dari pikiranku. Siapa lagi yang akan menghijaukan kampusku selain kita, mahasiswa dengan sejuta ideologisnya. Panasnya sinar mentari tak kuhiraukan, walaupun terus memanaskan tubuhku. Agh…serasa di oven. Di tempat yang lain kulihat beberapa ibu dengan pakaian sama, mereka juga telah siap dengan sapu lidinya. Beliau tak menghiraukan kedatanganku. Akupun hanya sempat melihatnya sekejap, karenaku harus mengejar waktu yang terus berotasi bak bumi yang kuinjak-injak ini.
Keringatku cukup mengucur deras seusai menempatkan sepeda miniku di parkiran tempat sepedaku mangkal. Sepeda inilah yang menemaniku ke kampus setiap hari. Walaupun, terkadang dia kutinggal di rumah karena sedikit kerusakan pada tubuhnya. Kuusap lembut keringatku. Ini tak seberapa jika dibanding dengan keringat ibu-ibu yang kulihat tadi.
Seusai kuliah aku tak langsung pulang. Kusempatkan tuk istirahat dengan rekan-rekanku. Kulihat pemandangan yang tidak beda jauh dengan yang kulihat tadi pagi. Seorang bapak tua yang rela demi keluarganya, memunguti sampah di bak sampah kampusku. Miris hatiku melihat bapak yang senantiasa tegar menjalani hidup berbalut seonggokan sampah. Dari sorotan matanya, tak sedikitpun ada rasa lelah dan menyesali hidupnya. Pancaran ceria dengan mata yang terang selalu menghiasi wajah bapak bertopi putih itu.

Ehm…pagi ini aku jalan kaki, karena sepedaku rusak. Mungkin aku memang sekali-kali harus menikmati sejuknya udara di kampus yang kian lama kian menghijau. Di tengah perjalanan, aku melihat seorang ibu yang tersenyum kepadaku. Tetapi kenapa pemandangannya berbeda dengan kemarin. Ibu yang satu ini kira-kira berusia 70an, atau kupanggil nenek sajalah mungkin lebih cocok. Ibu yang kemarin tersenyum kepadaku dengan tangan yang berisi sapu. Tetapi hari ini lain. Sekarang aku melihat nenek dengan tangan hampa yang menjulurkannya ke arahku sambil berkata yang tak kumengerti. Tapi aku tahu maksud nenek itu. Segera kuambil koin yang bertengger di tasku.
Lagi-lagi demi keluarga dan demi makan, semua orang melakukan apapun. Aku tahu, nenek itu sudah tak berdaya lagi untuk bekerja. “Tetapi, mana keluarganya, tega sekali membiarkan nenek yang renta itu mencari nafkah sendiri di tengah-tengah mahasiswa yang masih mengandalkan orang tua untuk makan dan kebutuhan sehari-hari”, Gumamku.
Aku berjalan pelan, benar-benar perjalanan yang melelahkan. Biasanya aku berdansa dengan sepedaku, tapi sekarang aku harus berjalan menyisir jalan. Tak apalah, agar aku juga bisa merasakan kelelahan seperti apa yang ibu-ibu tukang sapu rasakan.
Akhirnya aku sampai. Tiba-tiba… di belakangku sudah ada ibu-ibu peminta-minta “ah ibu, cepat sekali ibu ini menghampiriku, tahu aja kalau aku duduk di sini”, Gumamku dalam hati, sambil merogoh isi tasku tuk mencari dompet. Dan ternyata tak kutemukan dompet yang sedari tadi kucari. Bagaimana ini, aku hanya bisa memandang ibu itu dengan senyum. Dengan senyum pula ibu itu menatap wajahku sampai terus menengadahkan tangannya meminta belas kasihanku.
“Kalau begini aku yang minta belas kasihanmu bu, dompetku ketinggalan di rumah”, Kataku dalam hati. Waduh, ibu ini telah terlanjur menungguku memberinya secuil benda logam yang tiada kutemukan, bahkan secuil pun aku takbawa.
“Ehm…maaf bu, dompetku ketinggalan di rumah”, Kataku pelan sambil tersenyum malu. Kulihat wajah ibu itu tetap berbinar, “Ya gak apa-apa”, Jawabnya sambil tersenyum dan meninggalkanku. Entah dengan perasaan kecewa ataukah menertawakanku dalam hati aku tak peduli.
Terkadang, aku merasa aku serba kekurangan. Aku kurang bersyukur dengan apa yang aku miliki dan apa yang telah melekat di tubuhku ini. Sejenak, bayanganku terlintas ibu tukang sapu, bapak pengais sampah, nenek dan ibu peminta-minta. Merekalah yang terlupa untuk dihargai, bahkan terlupa untuk kuhargai. Aku harus bersyukur dengan apa yang kumiliki. Orang tuaku tak perlu berjuang mati-matian seperti mereka. Ya Allah berikanlah kelancaran rezeki untuk orangtuaku dan mereka yang terlupa untuk kuhargai.

pengamen hati

Panasnya mentari di siang hari tak meyurutkan semangat dua bocah cilik itu. Panas bukanlah musuh baginya, melainkan menjadi kawannya demi sesuap nasi. Berpakaian kotor dan kumal, menjadi ciri khasnya. Tentu mereka berbekal keberanian dan rasa PD bernyanyi-nyanyi di depan khalayak untuk mendapatkan sekantong uang receh. Ya, dialah si pengamen cilik yang berjuang sekuat tenaga demi menghidupi keluarga. Entahlah, apakah dia mencari uang atas keinginannya sendiri, atau disuruh orangtua mereka, mungkin malah ada tangan-tangan tak bertanggungjawab dibalik mereka, yang dengan mudah memperalat anak-anak kecil untuk mendapatkan kepuasan semata.
Terkadang rasa kecewapun menyelimuti hari-hari bocah cilik itu. Tentu, karena banyaknya pemakai jalan yang hanya berlalu lalang tanpa menghiraukan mereka. Melirikpun seperti tak sanggup, apalagi harus susah-susah membuka tas yang telah tertutup rapat hanya untuk mengambil uang receh yang belum tentu mereka punya. Kadang ada malaikat penolong yang siap dengan secarik uang kertas atau sebutir uang logam. Betapa senangnya ketika uluran tangannya tak sia-sia. Walaupun apa yang mereka dapat tak sebanding dengan perjuangan mereka di tengah kepulan asap kendaraan, debu dan panasnya matahari.
”mbak...minta uangnya mbak...”
Suara lirihnya yang diikuti dengan uluran tangan, terdengar menyayat hati siapapun yang mendengar. Rasa iba terkadang terpancar di hatiku dan tentunya para pemakai jalan lainnya. Tetapi, apakah dengan memberinya uang dapat merubah nasib mereka. Tidak tentunya. Mereka hanya ingin uang. Tetapi, sebenarnya banyak sekali yang mereka butuhkan, dan bukan hanya uang semata. Kasih sayang orang tua, tempat tinggal, hidup layak, pendidikan dan masih banyak lagi yang mereka butuhkan dan belum satupun mereka dapat.
Saat lampu lalu lintas berhenti di warna merah, bocah-bocah itu mulai beraksi. Ada yang menuju ke pengendara-pengendara motor, ada yang menuju ke mobil-mobil, ada juga yang hanya di pinggir jalan menunggu ’sang malaikat’ datang dengan memberinya sebutir logam.
Banyak yang mengacuhkannya. Walaupun dengan muka memelas sekalipun. Si bocah cilik dengan sabar menunggu sang pemberi koin tuk mengambilnya dari balik kantong ajaib. Terkadang akupun merasa terganggu dengan kehadirannya. Apalagi di saat jalan ramai dan panas yang menyengat. Tetapi, terkadang aku merasa iba juga melihatnya berkeliaran, apalagi kalau tak seorangpun memberikan apa yang dia butuhkan.
”Paaak...minta uangnya...”. Lagi-lagi katanya memelas sambil mengulurkan tangan ke siapa saja yang dia temui. Ada-ada saja tingkahnya untuk mengambil hati orang-orang yang berhenti di depannya. Ada yang sambil berjoget-joget sambil membawa potongan kayu yang lengkap dengan tutup-tutup botol minuman bersoda. Sehingga, suara bocah-bocah itu tak terdengar karena tertutup oleh suara alat musik yang mereka buat sendiri.
Di satu sisi, bocah-bocah itu sebenarnya berbakat. Mereka kreatif membuat alat-alat musik untuk mengirnginya di tengah kepulan asap, serta yang seharusnya menjadi teladan bagi kita adalah pantang menyerah dan semangatnya yang luar biasa. Tetapi, apa yang dapat mereka rasakan sekarang. Sudah adilkah apa yang mereka peroleh? Tangan-tangan tak berdosa menjadi korban atas orangtua mereka. Mereka yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai seorang anak, tetapi malah harus bersusah payah mencari uang. Pendidikan tak mereka dapat. Tempat tinggal layak pun tak dapat mereka tinggali. Apalagi kemewahan. Itu hanya angan-angan belaka baginya. Hanya belas kasihanlah yang mereka inginkan serta uluran tangannya yang disambut manis dengan secarik kertas dan sebutir logam yang melekat di telapak tangan.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, si pengamen cilik tak pernah absen dari jalan yang sering kulewati. Rasa kebingungan terpancar dari mukanya saat harus melewati pengendara yang dengan sigap menutup helm rapat-rapat agar tak terganggu suara-suara dan rintihan kata-kata memelasnya.
Kapan ada lembaga sosial yang bersedia menampung mereka. Bekal keterampilanpun kurasa cukup baginya untuk mendapatkan sesuap nasi. Apalagi mereka memang memiliki bakat yang luar biasa. Menjadi penyanyi, pembuat alat musik tradisional dan masih banyak bakat yang belum tergali dari diri mereka.
Semoga pemerintah atau siapapun yang berhati mulia dapat memberikan bekal untuk mereka nanti. Tak terkecuali diriku nantinya, semoga....
(Irma Putri)

Selasa, November 24, 2009

ekspresikan dirimu prennnnd

mengekspresikan diri bukan sesuatu yang sulit. tau gak sih gimana caranya?? pertanyaan besar dan sungguh membingungkan bagi sebagian orang. bagiku mungkin demikian mungkin juga tidak. sebenarnya bagaimana sih cara mengekspresikan diri kita. salah satu cara menurut aku adalah dengan MENULIS. INgat...menulis...!!! itu mungkin sulit dilakukan bagi orang yang tidak terbiasa nulis. tapi, biasakanlah. menulis bukan suatu momok yang sulit bukan? bukan juga suatu momok yang menakutkan. tetapi menulis adalah cerminan jiwa.... kreasikan ide kreatifmu prend lewat tulisan